Bab [1] Bertemu Lagi Setelah Perceraian

Hotel Marriott Jakarta, di helipad lantai paling atas.

Safira Widodo mendaratkan helikopter dengan mulus di landasan, lalu dengan gagah melepas topinya. Seketika, rambut hitam legamnya tergerai indah seperti air terjun.

Sebagai kepala arsitek proyek, Safira Widodo diundang kembali ke tanah air untuk menghadiri upacara pembukaan kompleks properti terbesar di Jakarta.

Lima tahun telah berlalu.

Akhirnya, dia kembali!

"Hore! Hore! Mama hebat! Akhirnya kita sampai di rumah!"

Mendengar sorak-sorai itu, seulas senyum terukir di bibir Safira. Ia menarik dua anak kecil dari belakangnya.

Lima tahun lalu, ia setuju untuk bercerai dari Leon Dudi dan pergi ke luar negeri.

Dua bulan kemudian, ia baru menyadari bahwa dirinya hamil, dan bukan hanya satu, melainkan kembar tiga.

Di saat-saat tersulitnya, Safira tetap memutuskan untuk melahirkan anak-anaknya. Ia ingin ada seseorang di dunia ini yang memiliki ikatan darah dengannya.

Beruntung, ketiga anaknya lahir dengan selamat.

Anita adalah putri kesayangannya yang paling kecil. Wajahnya sangat imut, sifatnya lembut dan penurut, membuat siapa saja menyukainya.

Zaidan adalah putra sulungnya. Sejak kecil ia sangat cerdas dan penuh ide-ide unik, kecerdasannya menurun dari ayahnya.

Satu-satunya penyesalan adalah si anak kedua, Kai. Ia hilang pada hari kedua setelah kelahirannya...

Keputusan Safira untuk kembali kali ini juga didasari oleh berbagai petunjuk yang muncul setahun belakangan. Petunjuk-petunjuk itu mengindikasikan bahwa hilangnya Kai bertahun-tahun lalu ada hubungannya dengan beberapa orang di Jakarta. Safira ingin menggunakan kesempatan ini untuk pulang dan menemukan Kai-nya!

Memikirkan hal itu, tatapan matanya berubah menjadi lebih tegas.

Safira berbalik untuk memberi pesan kepada kedua anaknya.

"Kalian berdua harus jadi anak baik, ya. Mama kembali kali ini untuk mencari seseorang yang sangat penting..."

"Wow!"

Belum selesai ia bicara, kedua anaknya sudah bersorak gembira.

"Orang yang sangat penting? Apa itu Ayah?"

Mendengar itu, kening Safira langsung berkerut.

"Hm? Jangan bicara sembarangan. Lupa apa yang pernah Mama katakan pada kalian?"

"Ayah kalian sudah gugur! Gugur sebagai pahlawan! Mengerti?"

Kedua anak itu saling berpandangan, lalu mengangguk seadanya.

"Tahu! Berarti Mama pulang untuk bertemu calon Ayah baru!"

Safira menghela napas pusing, lalu dengan gemas menyentil dahi mereka masing-masing.

"Jangan bicara sembarangan!"

Setelah itu, ia menarik kopernya dan membawa kedua anaknya masuk ke lift pribadi untuk mengurus check-in di lobi lantai satu.

Lobi itu ramai oleh lalu-lalang orang.

Dua gadis muda sedang bertugas di meja resepsionis.

"Eh, kamu dengar nggak? Semalam aktor pemenang penghargaan itu ngejar pacarnya sampai nerobos tiga lampu merah! Seru banget!"

"Halah! Itu sih nggak ada apa-apanya. Kamu nggak tahu aja, lima tahun lalu Pak Dudi ngejar cintanya sampai memblokir seluruh bandara! Nah, itu baru namanya spektakuler!"

"Hah? Kok aku nggak tahu cerita ini? Iri banget! Bukannya lima tahun lalu Pak Dudi cerai, ya? Jangan-jangan yang dikejar itu mantan istrinya?"

"Tentu saja bukan!"

Safira tidak menyangka, gosip pertama yang ia dengar setelah kembali ke tanah air adalah tentang dirinya sendiri.

Wanita yang mereka bicarakan dengan iri itu pastilah pujaan hati Leon Dudi.

Ternyata, dulu Leon Dudi begitu terburu-buru ingin bercerai demi mengejar wanita itu!

Saat ini, Safira benar-benar tidak ingin mendengar lebih banyak lagi. Ia segera menyelesaikan proses check-in.

Ia berbalik untuk menggandeng anak-anaknya.

Namun, hanya dalam sekejap, Safira menyadari ada yang tidak beres!

Zaidan menghilang. Hanya Anita yang menatapnya dengan polos sambil mengedipkan mata.

"Zaidan mana?" Safira melihat ke sekeliling, tetapi tidak menemukan sosok putranya.

"Mama, Kakak bilang mau jalan-jalan lihat-lihat ke aula acara, terus dia diam-diam menyelinap lewat sana."

Suara Anita terdengar lembut dan manja, dengan wajah polos tanpa dosa.

Hati Safira seketika dilanda kepanikan. Putra keduanya yang ia cari-cari belum ada kabar, jika sekarang putra sulungnya juga hilang, bagaimana ia bisa hidup?

Safira segera berjongkok. "Anita, tunggu Mama di sini, jangan ke mana-mana, ya! Mama akan segera bawa Zaidan kembali!"

"Baik."

Anita mengangguk patuh.

Dengan tergesa-gesa, Safira mencari putranya. Saking paniknya, ia tidak memperhatikan langkahnya, lalu terpeleset. Pergelangan kakinya terkilir, dan tubuhnya jatuh ke depan, mendarat di pelukan seseorang.

Aroma maskulin berpadu wangi kayu yang familier ini langsung menyergap indra penciuman Safira. Ia segera bangkit berdiri. Saat mengangkat wajah, tatapannya bertemu dengan pandangan dingin dan tajam milik Leon Dudi.

"Leon... Leon Dudi?"

Bukankah ini pria yang baru saja ia sebut sudah gugur sebagai pahlawan? Ayah dari anak-anaknya?

Kakinya goyah, membuatnya refleks mundur dua langkah.

Kenangan yang telah lama terkubur menyerbu kembali laksana gelombang pasang.

Safira tidak akan pernah bisa lupa.

Bagaimana ia dipaksa meninggalkan negara ini dulu!

Malam yang memalukan itu kembali menyerang pikiran Safira dengan ganas.

Lima tahun lalu, malam sebelum ia berangkat ke luar negeri.

Malam itu adalah hari ulang tahun Safira, sekaligus hari jadi pernikahan ketiga mereka.

Ia pikir Leon Dudi tidak akan pulang.

Selama tiga tahun pernikahan mereka, statusnya sebagai Nyonya Dudi hanyalah formalitas. Leon hampir tidak pernah pulang, dan setiap kali pulang pun, ia tidak pernah menginap.

Namun, malam itu, saat pesta ulang tahun Safira belum berakhir, Leon Dudi secara mengejutkan kembali.

Mobil sport Maybach-nya yang sangat khas memasuki halaman rumah.

Akan tetapi, Leon tak kunjung muncul. Safira yang tidak sabar pun menghampirinya.

Tiba-tiba, Leon menariknya dengan kasar ke dalam kursi belakang Maybach yang luas.

Wajah Leon memerah tidak wajar. Dengan kuat, ia menindih tubuh Safira, lalu berbisik lembut di telinganya.

"Sayang, jangan takut... Aku menginginkanmu."

Bagaimana mungkin Safira bisa menahan godaan seperti ini dari Leon?

Meskipun saat itu Leon terlihat tidak normal, seolah-olah baru saja diberi obat oleh seseorang.

Tapi, ini adalah pria yang telah ia cintai selama sepuluh tahun.

Dengan malu-malu, ia melengkungkan tubuhnya.

Menyambut ciuman berat Leon yang mendarat, seluruh tubuh Safira terasa panas, menyatu dengan tubuh pria itu.

Di bawah temaram malam, tatapan Leon tampak kabur. Jari-jarinya membelai pipi Safira, menatapnya dengan tatapan penuh damba.

Leon memiliki paras yang luar biasa tampan, sepasang matanya seakan bisa memikat jiwa.

Safira pun tenggelam di bawah kungkungannya.

Tangan besar Leon dengan lembut membelai pinggang ramping Safira, bibirnya, lalu turun ke lehernya, mengisap kulitnya hingga meninggalkan jejak kemerahan.

Ketika bibirnya menyentuh dadanya, melumat pucuk merah muda itu.

"Nngh..."

Safira mendesah manja, merespons dengan aktif, memeluk dan menjepitnya lebih erat.

Semakin ia bersuara, semakin bergairah Leon dibuatnya. Pria itu mendorong ke depan dengan kuat. Napas Safira terengah-engah, merasakan kenikmatan yang luar biasa.

Ini adalah suaminya selama tiga tahun, dan ini adalah pertama kalinya mereka bercinta dengan begitu harmonis. Saat itu, matanya dipenuhi binar kebahagiaan.

Malam itu adalah malam yang paling tak terlupakan baginya.

Otot perut yang kokoh, pinggang yang kencang, dan isapan penuh kasih dari Leon.

Safira bahkan sempat berfantasi, mungkin Leon akhirnya tersentuh oleh pengabdiannya selama tiga tahun ini! Ia akhirnya jatuh cinta padanya. Masa depan mereka akan sangat bahagia dan sempurna.

Namun, siapa sangka, keesokan harinya, Leon seolah lupa segalanya.

Tanpa ampun, ia mengajukan gugatan cerai pada Safira.

Dan ia melakukannya tepat saat Nenek sedang sakit parah!

Ya!

Setelah malam penuh gairah itu, sebelum Leon sempat terbangun, Safira menerima telepon yang mengabarkan Nenek Dudi mengalami kecelakaan mobil.

Ia seorang diri bergegas ke rumah sakit.

Sibuk mengurus segalanya.

Ketika dokter memberitahu bahwa Nenek Dudi mengalami koma, kaki Safira terasa lemas, nyaris tak sanggup berdiri.

Sebuah tangan yang kuat dan kokoh menopang pinggangnya dari belakang.

Itu Leon.

Saat itu, hati Safira sempat tersentuh. Di saat-saat genting, hanya suamilah sandaran terkuatnya.

Namun, setelah mengantar Nenek ke ruang perawatan, saat Safira baru saja ingin mencari pelukan hangat untuk menenangkan Leon agar tidak terlalu sedih, ia justru mendengar suara dingin pria itu.

"Safira Widodo, kita cerai!"

Bab Selanjutnya