Bab [3] Saya Tidak Tertarik pada Pak Dudi

Byurrr!

Detik berikutnya, air kolam renang menciprat ke segala arah.

Arjuna dilempar ke dalam kolam.

"Safira Widodo!"

Arjuna muncul ke permukaan dengan panik dan marah. Di bawah air, tangannya mengepal erat. Dia tidak menyangka wanita ini begitu nekat, berani mendorongnya ke kolam!

Sepertinya, dia benar-benar harus diberi pelajaran!

Saat Arjuna mendongak, Safira hanya berdiri terpaku di tepi kolam. Matanya menatap lekat ke arah Arjuna tanpa berkedip.

Arjuna kini berhasil berdiri tegak. Ternyata, tinggi air bahkan tidak sampai melewati perutnya. Setelan jas yang ia kenakan sudah basah kuyup, kemejanya yang basah menempel erat, memperlihatkan setiap lekuk otot tubuhnya.

Sialan!

Melihat ekspresi Safira, Arjuna tahu wanita itu sekali lagi terpesona oleh tubuhnya.

Arjuna tersenyum dingin. Wanita ini memang hanya tertarik pada fisiknya.

Dia melepaskan jasnya, lalu berjalan keluar dari kolam dengan wajah muram. Tatapan matanya yang dingin membuat Safira merinding sejenak. Arjuna tampak seperti macan tutul yang sedang mengamuk.

"Safira Widodo, menurutmu hukuman apa yang pantas untukmu?" Suara Arjuna begitu dingin hingga membuat orang gemetar.

"Apa Pak Arjuna mau mengancam saya di tempat seperti ini?" Safira tertawa meremehkan.

Namun, detik berikutnya, tawanya lenyap.

"Kenapa tidak?"

Arjuna mendekat. Tanpa disadari Safira, dia mencengkeram tengkuknya, menyeretnya ke tepi kolam, dan dengan kasar menekan kepala Safira ke dalam air.

Safira tersedak air dan terbatuk-batuk hebat.

Sesaat kemudian, Arjuna mengangkatnya dalam gendongan ala bridal style. Safira menjerit, "Mau apa kamu, Arjuna?"

Saat menyibakkan rambutnya yang basah dari wajah, ia melihat ekspresi datar Arjuna dengan tatapan yang begitu dingin dan kelam.

Byurrr!

Safira dilempar kembali ke dalam kolam.

Begitu Safira terhuyung-huyung dan muncul ke permukaan, Arjuna langsung melompat ke dalam kolam. Dia mencengkeram pergelangan tangan Safira dengan kuat, menariknya ke dalam pelukannya. Tubuh mereka berdua basah kuyup dan menempel erat. Penis Arjuna yang sudah mengeras dengan jelas menekan perut bagian bawah Safira.

Di dalam air kolam yang dingin, kedua tubuh mereka justru terasa begitu panas.

Tenggorokan Arjuna terasa kering, matanya dipenuhi gairah.

Atasan putih Safira yang basah menjadi tipis dan transparan. Setiap gerakan kecil membuat sepasang payudaranya yang besar bergoyang menggoda. Pinggangnya yang ramping membuat imajinasi liar menari-nari di kepala Arjuna.

Ujung jari Arjuna mulai menjelajahi pinggang Safira, hampir menyentuh dadanya, tapi Safira segera menepis tangannya.

"Kalau Pak Arjuna butuh pelampiasan, lebih baik cari orang lain. Saya... tidak tertarik dengan Bapak," ucapnya dengan tatapan menghina yang langsung menyulut amarah Arjuna.

Arjuna langsung menggigit tulang selangka Safira.

"Sshh... Arjuna, kamu anjing, ya? Kamu gila!"

Safira mengerahkan seluruh tenaganya, berniat mendorong Arjuna menjauh. Namun, karena dorongan air, tenaganya menjadi tidak terkendali. Tangannya tanpa sengaja menarik kemeja Arjuna hingga kancingnya terlepas.

Kemeja yang semula sudah menempel ketat itu kini terbuka lebar, memperlihatkan tubuh Arjuna sepenuhnya. Pandangan Safira tanpa sadar meluncur ke bawah, ke arah kejantanan Arjuna yang tampak masih berdenyut-denyut.

"Segitu tidak sabarannya kamu?" Tatapan Arjuna yang tajam seolah menguncinya, membuatnya tak bisa lari.

"Bicara soal itu, kenapa Bapak tidak berkaca pada diri sendiri?" balas Safira, matanya melirik ke bawah dengan penuh cemoohan.

"Ini hanya reaksi normal seorang pria. Lagipula, kalau dalam situasi seperti ini aku tidak bereaksi apa-apa, itu artinya kamu sama sekali tidak punya pesona sebagai wanita. Betapa gagalnya kamu." Suara Arjuna yang sengaja direndahkan berbisik di telinga Safira.

"Saat kita menikah, aku tidak tertarik dengan tubuhmu. Setelah cerai, tentu lebih tidak mungkin lagi!"

Arjuna mencubit pinggang Safira dengan keras. Safira menggigit bibirnya, menahan diri agar tidak menjerit.

"Wanita seperti apa yang tidak bisa Pak Arjuna dapatkan? Tentu saja teknik bercinta Bapak hebat! Tapi bagi saya, Pak Arjuna itu biasa saja! Mungkin perlu lebih banyak latihan."

Setelah Safira melontarkan kalimat pedas itu, suasana di sekitar mereka menjadi hening sejenak.

Wajah Arjuna menjadi segelap arang. Sisa-sisa gairah yang sempat menyala di hatinya pun padam seketika. Rasanya dia ingin menenggelamkan Safira ke dalam air lagi.

"Sepertinya pria lain di ranjang sudah sangat memuaskanmu, ya?" Arjuna menatapnya dengan tatapan kejam, sedingin ular berbisa.

"Tentu saja. Pak Arjuna itu cuma punya badan dan wajah ini yang lumayan... Sshh... sakit... Arjuna, kamu brengsek!"

Arjuna mencengkeram dagu Safira dengan tangannya. Dengan sedikit tenaga, rasa sakit membuat dahi Safira berkeringat dingin.

Pria ini benar-benar jahat!

Bahkan setelah sekian lama, dia tetap tidak punya belas kasihan saat menyakitinya.

Tiba-tiba, Arjuna menarik ikat pinggang dari pinggangnya dan langsung mengikat kedua pergelangan tangan Safira.

"Apa lagi yang mau kamu lakukan, Arjuna?!" Safira terkejut dan mulai panik.

"Berani mendorongku ke kolam? Sepertinya kamu sudah gila. Rumah sakit jiwa tempat yang paling cocok untukmu."

"Kamu!"

Safira masih mencoba meronta, tapi Arjuna sudah lebih dulu mengangkatnya ke darat tanpa memberinya kesempatan untuk melawan.


Setengah jam kemudian, di Rumah Sakit Keluarga Pratama.

"Arjuna, ini tindakan ilegal! Penyekapan! Cepat lepaskan aku!" Safira masih terikat. Di dalam kamar pasien itu, hanya ada Arjuna dan dirinya.

Tapi di luar, para penjaga Arjuna berjaga ketat. Ini benar-benar penyiksaan!

Pria sialan! Apa sebenarnya yang ada di pikirannya?

Mereka sudah lama bercerai, tidak ada hubungan apa-apa lagi!

"Pak Arjuna, semua keperluan untuk Nyonya Besar sudah disiapkan," lapor seorang sekretaris yang masuk dari luar, berbisik di telinga Arjuna.

Mendengar itu, Safira teringat bahwa hari ini adalah hari peringatan kematian Nenek Arjuna.

"Siapkan satu set pakaian bersih, kirim ke sini. Jaga dia baik-baik, jangan sampai kabur." Arjuna memberi perintah dengan wajah muram. Setelah urusan ziarah selesai, dia akan kembali untuk membereskan perhitungan dengan Safira.

Lagi pula, ada satu hal yang perlu dia pastikan dari Safira. Sebelum semuanya jelas, dia tidak akan melepaskannya begitu saja.

"Baik, Pak Arjuna!"

Setelah Arjuna pergi, ikatan di tangan Safira dilepaskan, tapi dia tetap tidak bisa keluar dari kamar sialan ini.

"Ada orang?! Tolong...!"

"Tolong! Ada penyekapan ilegal! Bisa ada yang mati di sini...!"

Tidak peduli seberapa keras Safira berteriak, tidak ada suara sedikit pun dari luar.

Dia mengintip dari celah pintu. Di sekelilingnya penuh dengan pengawal. Dia tidak punya celah untuk kabur.

"Arjuna, dasar bajingan!"


Beberapa saat kemudian.

Tiba-tiba terdengar suara dari luar pintu.

"Tuan Muda, kenapa Anda ke sini?" tanya seorang pengawal, menatap Zaidan kecil di hadapannya dengan bingung.

Zaidan terdiam sejenak, tatapannya tidak ramah.

"Dia... siapa?" Zaidan menunjuk ke arah pintu, bertanya tentang Safira yang ada di dalam.

Dia dengar Papanya membawa seorang wanita liar dan mengurungnya di sini.

"Sebaiknya Tuan Muda tidak usah bertanya. Sebentar lagi Pak Arjuna juga akan mencari Anda. Cepatlah kembali."

Zaidan hanya berdiri diam, tatapannya kosong terus menatap pintu itu.

Dia kabur diam-diam karena mendengar ada wanita liar di dekat Papanya, dan dia ingin datang untuk melihat.

Papanya tidak pernah sembarangan mengikat seorang wanita.

"Aku mau masuk!"

Para pengawal tampak serba salah. Mereka takut Safira akan kabur, tapi ini adalah perintah Tuan Muda...

Lagipula, wanita gila itu seharusnya tidak akan melakukan apa-apa pada seorang anak kecil, kan?

"Baiklah kalau begitu." Pengawal itu akhirnya mengalah dan membuka pintu.

Zaidan melangkah maju beberapa langkah, mengintip ke dalam terlebih dahulu.

Kebetulan, Safira juga berjalan mendekat. Saat matanya melirik ke arah pintu, ekspresinya berubah cerah.

Itu Zaidan! Ternyata dia tidak hilang.

Namun, Zaidan tidak mengerti dari mana datangnya raut bahagia di mata wanita itu.

Apa dia tidak takut pada Papanya?

Bab Sebelumnya
Bab Selanjutnya