Bab [4] Siapa Pak Dudi, Papa?

Saat melihat wajah mungil yang lembut itu, Safira Widodo tertegun.

Dia bergegas menghampiri, berjongkok, dan memeluk Kai erat-erat, lalu mengusap-usap kepalanya dengan lembut.

"Zaidan! Kenapa kamu lari ke sini sendirian? Kamu bikin Mama khawatir setengah mati," ucap Safira Widodo dengan nada cemas bercampur penyesalan.

Mama?

Kai paling benci kalau ada perempuan asing yang seenaknya mengaku sebagai Mamanya.

Perempuan ini jelas-jelas mau menggoda Papa, lalu jadi ibu tiriku!

Aku nggak mau!

Memikirkan itu, Kai langsung mendorong Safira Widodo dengan sekuat tenaga.

Safira Widodo yang tidak menyangka akan didorong, langsung terjatuh. Tapi dia tidak marah, hanya saja ia sangat mengkhawatirkan Kai.

Seperti biasa, dia mengulurkan tangannya lagi, menarik tangan mungil Kai dan menggenggamnya dengan lembut.

Kai baru saja hendak menarik tangannya kembali, tapi genggaman Safira begitu erat dan hangat.

Telapak tangan yang hangat, dan rasanya berbeda dari genggaman Papa.

Kai menatapnya dengan bingung.

Mama siapa ini? Dan siapa Zaidan yang dia sebut-sebut?

Selama ini, jarang sekali ada perempuan di sekitar Papa.

Apa hubungan perempuan yang tiba-tiba muncul ini dengan Papa?

Kepala Kai dipenuhi begitu banyak pertanyaan, tapi saat dia membuka mulutnya untuk bertanya, dia tidak tahu bagaimana harus berkomunikasi dengan Safira Widodo.

Tiba-tiba, Safira menggenggam tangan Kai lebih erat dan berseru kaget.

"Zaidan, kamu demam?" Suaranya terdengar begitu pilu, matanya memancarkan kekhawatiran yang mendalam.

"Aku... aku nggak apa-apa..." Kai menjawab dengan ragu-ragu. Tadi, dalam pelukan Safira, dia merasakan sesuatu yang berbeda, sesuatu yang begitu hangat hingga membuatnya enggan untuk pergi.

Sudahlah, aku tidak akan membongkar penyamaranku di depan perempuan ini.

Kai berpikir, dia hanya akan bersama perempuan ini sebentar saja, sebentar saja...

Karena aroma tubuhnya benar-benar seperti aroma seorang Mama, memberinya rasa aman yang sudah lama tidak ia rasakan.

"Siapa bilang demam itu nggak apa-apa?"

Safira tersenyum pasrah, lalu mencolek ujung hidungnya dengan gemas. "Mama mau bawa kamu ke dokter. Zaidan anak baik, ya? Harus disuntik dan minum obat biar cepat sembuh."

Di bawah bujukan lembut Safira, Kai mengangguk tanpa suara.

Padahal, Kai biasanya paling benci disuntik. Hari ini saja, Pak Pengurus harus memaksanya datang ke rumah sakit. Tapi baru sebentar di rumah sakit, dia mendengar Papa membawa pulang seorang perempuan liar, jadi dia kabur untuk melihat. Pak Pengurus pasti belum sadar dia sudah menghilang.

Melihat Kai setuju, Safira langsung menggendongnya dan menggedor-gedor pintu dengan panik. "Tolong! Tolong bukakan pintunya! Anak saya sakit! Dia harus segera diobati!"

Para pengawal membuka pintu dengan kening berkerut, wajah mereka jengkel dan siap memarahi.

Namun, saat melihat Tuan Muda ada dalam gendongan perempuan itu, mereka langsung terdiam.

"Tuan... Muda..."

Kai, takut identitasnya terbongkar, segera memberi isyarat mata dan menyela, "Minggir kalian! Aku mau ke dokter!"

Para pengawal saling berpandangan. Mana berani mereka menghalangi?

Ini adalah satu-satunya pewaris keluarga Dudi. Biasanya, membujuknya untuk disuntik atau minum obat lebih sulit daripada mendaki gunung! Tumben sekali hari ini, seperti matahari terbit dari barat, dia mau ke dokter atas kemauannya sendiri!

Seketika, para pengawal langsung menyingkir, memberi jalan.

Melihat itu, Safira bergegas membawa Kai menemui dokter dan menemaninya mengukur suhu tubuh.

"Sudah 38 derajat lebih! Zaidan, kamu pasti tersiksa sekali, ya?" Mata Safira langsung memerah. Dia menyalahkan dirinya sendiri karena tidak merawat Zaidan dengan baik.

"Eh... aku nggak apa-apa..." jawab Kai ragu-ragu, suaranya masih terdengar takut.

Biasanya, Zaidan di depan Safira selalu ceria dan heboh seperti matahari kecil.

Melihatnya lesu seperti ini, Safira merasa semakin bersalah.

Pasti karena sakitnya parah sekali.

Saat tiba waktunya disuntik, Safira memeluk Kai dan merasakan tubuh kecil itu bergetar.

Dia mengulurkan satu tangannya, menutupi mata Kai dengan lembut.

"Zaidan jangan takut, Mama di sini. Disuntik nggak sakit, kok. Mama akan selalu menemanimu."

Mendengar kata-kata Safira, genggaman tangan Kai sedikit mengendur. Perawat pun mengambil kesempatan itu untuk menyuntiknya.

Kai mengerjapkan matanya. Untuk pertama kalinya, dia sadar kalau disuntik ternyata bisa tidak sakit.

Dengan perempuan ini di sisinya, rasanya dia tidak takut pada apa pun.

Kai berbaring dengan tenang di pelukan Safira, dan akhirnya tertidur.

Safira menatap putranya yang tertidur lelap, lalu mengecup keningnya dengan lembut.

"Anak baik Mama, Zaidan. Tidur yang nyenyak ya, nanti juga sembuh..."


Di saat yang sama.

Mall Menteng.

"Ibu cantik, Mama saya sakit. Dia suka sekali sama kalung ini. Boleh nggak harganya dikurangin sedikit buat saya? Ya, Bu, ya?" Di sebuah toko perhiasan, terdengar suara anak kecil yang imut dan memelas.

Pramuniaga di konter menatap Zaidan yang begitu menggemaskan, dan merasa tidak tega untuk menolak.

"Aduh, Dek, karena kamu anak baik, Kakak kasih diskon, ya. Nanti langsung pakaikan ke Mama kamu, semoga beliau cepat sembuh dan sehat selalu."

"Makasih, Kakak cantik!"

Mata Zaidan berbinar. Dia mengeluarkan uang dua juta empat ratus rupiah yang dia kumpulkan sedikit demi sedikit dari sakunya, lalu menyerahkannya ke pramuniaga.

Setelah itu, dia pergi membawa kalung yang sudah dibungkus cantik.

"Aku memang pintar! Sebentar lagi Mama ulang tahun, dia pasti suka kado ini."

Zaidan buru-buru memasukkan kalung itu ke dalam tas ransel kecilnya.

Di pergelangan tangannya, masih terpasang jam tangan Peppa Pig yang dulu dibelikan Safira.

Zaidan melirik jam. Dia harus segera pulang menemui Mama, kalau tidak nanti Mamanya khawatir.

Baru saja Zaidan sampai di pintu utama mal dan belum sempat keluar, segerombolan pengawal menerobos masuk dan langsung mengepungnya.

Dia menelan ludah, mencengkeram tas ranselnya erat-erat.

Jangan-jangan kebohonganku tadi ketahuan?

Mama bilang kalau berbohong nanti ditangkap Pak Polisi.

Aku nggak mau dipenjara.

Zaidan langsung panik dan bersiap untuk lari.

"Tuan Muda! Tolong ikut kami pulang!" Seseorang berhasil memegang tangan kecil Zaidan, nadanya memohon.

Zaidan memiringkan kepalanya dengan polos, menunjuk dirinya sendiri dengan jari telunjuknya.

Tuan Muda?

Aku?

Orang-orang ini salah orang, ya?

"Aku bukan Tuan Muda kalian. Aku mau pulang, lepaskan aku," jelas Zaidan. Begitu dia berhasil menarik tangannya, orang itu buru-buru menghalangi jalannya lagi.

"Tuan Muda, Pak Lim bilang Anda demam, kenapa malah kabur dari rumah sakit? Kalau Tuan Muda tidak suka di rumah sakit, kita pulang saja, ya? Pak Dudi pasti akan khawatir kalau tahu Anda kabur seperti ini."

Zaidan tidak mengerti. "Pak Dudi itu siapa?" tanyanya.

"Itu Papa Tuan Muda."

Pengawal itu mengira Zaidan sengaja pura-pura tidak kenal Leon Dudi agar tidak perlu pulang.

Papa?

Mata Zaidan langsung berbinar.

Dia belum pernah bertemu Papa.

Sejak dia bisa mengingat, dia selalu tinggal bersama Mama dan adiknya.

Kalau memang bisa bertemu Papa, tidak ada salahnya ikut dengan orang-orang ini.

"Baiklah kalau begitu, ayo antar aku pulang," kata Zaidan dengan sikap gagah berani.

Pengawal di depannya merasa kepribadian Tuan Mudanya berubah drastis.

Tuan Muda yang dulu tidak suka bicara dengan orang asing dan cenderung pendiam.

Kenapa hari ini kelihatannya ceria sekali?

Tapi dia tidak mau ambil pusing. Yang terpenting adalah bisa membawa Tuan Muda pulang.

Bagaimanapun, Leon Dudi hanya punya satu putra kesayangan ini. Kalau sampai terjadi apa-apa, habislah riwayat mereka.


Beberapa saat kemudian.

Kediaman Keluarga Dudi.

Saat Zaidan diantar pulang, dia terperangah melihat vila mewah di hadapannya.

Papa sekaya ini?

Kemudian, dia diantar ke kamarnya "sendiri".

Saat pintu terbuka, Zaidan melihat dinding yang dipenuhi foto-foto anak laki-laki yang wajahnya sama persis dengannya.

Zaidan nyaris tidak percaya.

Tapi foto-foto itu benar-benar foto dirinya!

"Kapan aku pernah foto begini?" Zaidan mengambil beberapa foto dan mengamatinya. Dia yakin seratus persen belum pernah mengambil foto-foto ini. Jadi, dari mana datangnya foto-foto ini?

"Tuan Muda, sebentar lagi kita akan berziarah ke makam Nyonya Besar. Anda harus ganti baju. Pak Dudi sudah menunggu di sana, kami akan mengantar Tuan Muda ke sana."

Kepala Pelayan mengetuk pintu dan masuk, menyerahkan setelan pakaian yang sudah disiapkan ke tangan Zaidan.

Papa ada di sana?

Mata Zaidan berputar-putar. Dia bersiap untuk bertemu dengan Papanya ini.

Bab Sebelumnya
Bab Selanjutnya