Bab 10

Setelah membersihkan diri di bawah pancuran shower, aku berniat untuk segera tidur dengan piyama yang sudah melekat erat ditubuhku, mendamba untuk segera terjun ke kasur dan melepas penat.

Namun, baru saja aku berdiri dari dudukku setelah memakai pelembab di meja rias di kamar apartemenku, ponsel yang aku geletakkan di atas nakas berdering. Aku pun mendatangi ponselku itu dan melihat siapa yang menelpon.

Di jam yang menunjukkan pukul setengah sembilan malam, aku pikir yang menelpon adalah Steven yang ingin mengucapkan selamat malam untukku. Tapi ternyata, yang menelponku itu adalah orang yang pasti akan membawa bencana besar bagi waktu tidurku, yaitu Justin.

Aku pun menghela napas pelan, lalu menerima telepon tersebut dan menempelkan ponselku di telinga kanan.

“Halo?” sapaku.

“Aku butuh surat laporan tanda terima hasil produksi perusahaan dengan mitra di Los Angeles bulan lalu. Mengapa belum kau berikan padaku? Bukankah surat itu dikirim ke surel milikmu? Bukankah tadi sore sudah aku katakan untuk meninggalkannya di meja kerjaku?” tukas Justin dari seberang telepon.

“Astaga, aku lupa mencetaknya,” gumamku, “Tunggu sebentar.”

Aku meletakkan ponselku sembarangan di atas kasur, lalu buru-buru mengambil Macbook milikku dan mencetak sebuah surat penting yang aku terima dari mitra Lawrence Company.

Setelah surat tersebut telah aku cetak, aku pun bergegas kembali ke ponselku, tapi ternyata Justin sudah memutus sambungan teleponnya. Maka, aku pun menelpon balik.

“Ke mana aku harus mengantar surat ini?” tanyaku setelah aku kembali terhubung dengan bosku itu.

“Kenapa masih bertanya?! Menurutmu ke mana?!” sahut Justin dengan galak.

“Ke kantor, kan?” jawabku ragu-ragu, takut salah.

“Iya. Cepat!”

“Baiklah,” ujarku. Setelah memutus sambungan telepon, aku pun bergegas memakai coat musim dingin berwarna pink yang aku ambil dari dalam lemari pakaianku.

Setelah itu, sambil membawa dompet, ponsel, serta surat laporan yang sudah aku masukkan ke dalam sebuah amplop cokelat, aku buru-buru pergi dan keluar dari gedung apartemenku yang terletak di pusat Brooklyn.

Daripada mengeluarkan mobilku dari area parkir gedung apartemen, aku memilih untuk menaiki taksi yang melintas agar tidak buang-buang waktu.

Aku menyuruh supir taksi untuk menyetir dengan lebih cepat, mengingat jarak dari tempat tinggalku untuk ke Lawrence Company yang terletak di Manhattan memakan waktu hampir tiga puluh menit. Aku tidak ingin mendengarkan amukan Justin jika aku terlalu lama sampai di sana.

Setelah akhirnya taksi yang aku tumpangi itu tiba di depan gedung Lawrence Company, aku pun menyerahkan sejumlah uang kepada supir taksi, lalu bergegas turun dari taksi. Aku berjalan terburu-buru melewati lobi dan menaiki lift untuk menuju ke lantai lima puluh.

Setibanya di ujung koridor, aku pun masuk ke dalam ruangan Justin dan melihat Justin sedang berkutat serius dengan Macbooknya.

“Ini suratnya,” ujarku sambil meletakkan amplop cokelat yang aku bawa ke atas meja kerja bosku itu.

“Kenapa lama sekali?!” tegur Justin.

“Maafkan aku. Jarak dari Brooklyn ke Manhattan tidak dekat, Justin.”

Justin mendengus pelan. Dia mengambil amplop cokelat itu, lalu menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Aku tahu apa yang dia perhatikan, yaitu piyama yang saat ini aku pakai.

Saking terburu-burunya, aku tidak sempat untuk mengganti pakaian dan terpaksa memakai piyama yang hanya dibalut dengan coat. Bayangkan saja, bahkan kini aku pun masih memakai sandal berbulu warna pink yang biasa aku pakai saat berada di dalam rumah.

“Kau pergi dari Brooklyn ke sini dengan pakaian seperti itu?” ujar Justin.

“Aku buru-buru,” jawabku sembari merapatkan coat berwarna pink untuk menutupi piyama merah marun yang aku kenakan.

“Ya sudah kalau begitu.”

“Aku boleh pulang sekarang?” tanyaku antusias.

“Tidak,” sahut Justin. Dia menyerahkan sebuah map file berwarna merah padaku, lalu berkata, “Aku butuh revisinya untuk pertemuan dengan rekan bisnis besok siang.”

Aku menghela napas pelan. Mau tidak mau, aku pun menerima map file tersebut, lalu berbalik dan berjalan keluar dari ruangan Justin. Aku duduk di meja kubikalku dan menyalakan komputerku untuk mulai mengerjakan apa yang ditugaskan Justin.

Tuhan! Aku mengantuk dan ingin istirahat!


Jam menunjukkan pukul sepuluh kurang beberapa menit setelah akhirnya aku selesai merevisi laporan yang diberikan Justin dan selesai mencetaknya. Aku menghela napas lega dan tersenyum bangga untuk diriku sendiri karena merasa hebat bisa bertahan di tempat kerja rodi ini.

Aku berdiri dari dudukku, lalu berjalan memasuki ruangan Justin.

Kulihat pria itu sedang berdiri menghadap jendela di sisi ruangan, sibuk menelpon dan membicarakan hal yang serius dengan seseorang di seberang telepon. Saking seriusnya, bahkan dia belum menyadari kedatanganku.

Aku pun memilih untuk menunggu. Aku duduk di kursi yang berhadapan dengan meja kerja Justin. Kalau tidak memikirkan keprofesionalan, ingin sekali rasanya aku meletakkan laporan yang sudah aku revisi di atas meja pria itu, lalu kabur dari tempat itu agar tidak diberi tugas lagi.

Meski sama sekali tidak berniat untuk menguping, tapi aku tidak sengaja mendengar pembicaraan Justin dengan orang di seberang telepon.

“Apa aku harus pergi ke Singapura untuk membawanya pulang ke New York?” ujar Justin.

“Tidak perlu, Justin. Sekalipun kau datang, dia tetap akan bersama suaminya.”

“Aku juga suaminya, Edward. Aku belum bercerai dengannya,” kata Justin dengan suara yang terdengar emosi.

“Ya, aku tahu. Tapi kau kan tahu sendiri apa yang telah dia lakukan padamu. Berhentilah mengharapkannya dan tidak perlu memedulikannya lagi.”

“Tidak memedulikannya bagaimana? Dia kecelakaan hingga kritis di Singapura, lalu kau menyuruhku untuk tidak peduli padanya?” tukas Justin dengan geram.

“Bukan itu maksudku. Astaga, bagaimana aku harus menjelaskannya padamu? Intinya, kau tidak perlu terlalu mengkhawatirkan Laura. Fokuslah pada bisnis dan perusahaanmu, serta fokus pada bagaimana caranya mengurus Lily dengan baik dan benar. Untuk apa kau mengkhawatirkan Laura sampai sebegininya? Wanita itu tidak pernah sedikitpun peduli padamu atau bahkan peduli pada anaknya sendiri, Justin.”

Nampak tak mau berdebat, Justin yang terlihat sangat emosi itu pun langsung memutus sambungan teleponnya. Kulihat dia menghela napas berat dan berdecak kesal.

Aku pun sadar bahwa yang sedang Justin bicarakan bersama seorang pria bernama Edward di seberang telepon itu adalah persoalan Laura, istrinya Justin yang waktu itu David ceritakan padaku selingkuh dari Justin dan menikah dengan pengusaha di Asia.

Hingga tak lama kemudian, Justin pun berbalik dan menyadari keberadaanku. Dia langsung menghampiriku ketika aku meletakkan ke atas meja kerjanya sebuah map file berisi revisi laporan yang telah selesai aku kerjakan.


Bersambung .....

Bab Sebelumnya
Bab Selanjutnya