Bab 11
Justin duduk di kursi kerjanya dan membolak-balik lembaran di dalam map file yang aku berikan.
“Di laporan itu ada beberapa kolom yang perlu kau tanda tangani. Aku sudah menempelkan perangko di kolom-kolom tersebut,” ujarku pada Justin.
Justin mengambil pulpen mahal miliknya yang tergeletak di atas meja, lalu mulai menandatangani kolom-kolom di laporan itu yang aku maksud.
Kudapati wajah tampannya yang maskulin itu nampak jauh lebih tegas dari biasanya. Kedua alis tebalnya pun sejak tadi mengkerut dan hampir menyatu. Tak salah lagi, dia pasti sedang sangat emosi.
Bayangkan saja, Justin yang selalu emosi, kini sedang ‘sangat’ emosi. Seperti apa jadinya jika sekarang aku berbuat secuil kesalahan? Tamatlah riwayatku.
“Berikan padaku lampiran pendataan harga saham bulan lalu,” pinta Justin.
“Tunggu sebentar. Sepertinya tadi siang aku meletakkannya di mejamu ini,” jawabku. Aku mengangkat beberapa dokumen yang ada di meja Justin, lalu mengambil sebuah map file yang terletak di paling bawah tumpukan dokumen tersebut.
“Nah, ini dia,” kataku sembari memberikan map file tersebut pada Justin.
“Terima kasih,” sahut Justin. Dia menyatukan map file itu dengan map file laporan yang tadi sudah aku revisi.
“Apakah masih ada hal lain yang kau butuhkan? Biar aku selesaikan sekarang sebelum pulang,” ujarku.
Justin menggeleng.
“Kalau begitu, aku boleh pulang?” aku bertanya dengan sumringah.
“Kau menyetir mobil?” tanya Justin padaku.
“Tidak. Aku naik taksi,” jawabku.
Justin mengernyit, “Kau naik taksi malam-malam begini dengan pakaian seperti itu? Sadarkah kau kalau ini adalah New York?”
“Ini kan juga karena kau menyuruhku untuk cepat-cepat mengantar surat yang kau butuhkan,” aku menggerutu dengan suara pelan.
“Siapa suruh teledor? Aku sudah memperingatimu untuk meletakkan surat itu di mejaku,” tukas Justin.
“Iya, aku minta maaf.”
Justin menghela napas. Dia berdiri dari duduknya dan mengancingi jas hitam mahalnya yang merupakan hasil produksi dari Tom Ford. Kemudian dia menatapku dan berkata, “Kau pulang denganku saja.”
Aku pun menatapnya dengan tatapan terkejut, “Sungguh?”
Justin tak menjawab. Dia mengambil kunci mobilnya di atas meja lalu berjalan menuju pintu untuk keluar dari ruangannya.
Aku pun berdiri juga dari dudukku. Aku bergegas merapikan dokumen-dokumen di atas meja Justin dan sedikit menatanya agar tidak tergeletak tak beraturan. Setelah itu, barulah aku buru-buru keluar dari ruangan dan mengejar Justin yang kini berjalan menuju area lift.
“Kau sungguh akan mengantarku pulang?” aku bertanya pada Justin sembari berusaha untuk menyamakan langkahku dengannya.
Justin hanya diam.
“Sungguh? Kau mau berbaik hati untuk mengantarku pulang agar aku tidak perlu naik taksi?” tanyaku lagi.
Justin menghela napas pelan lalu melirikku dengan sinis, “Kau mau atau tidak?”
“Tentu saja mau,” sahutku bersemangat.
Ketika mobil Porsche berwarna hitam yang dikendarai Justin baru saja melaju keluar dari area gedung Lawrence Company dan menyusuri jalan raya di pusat Manhattan yang renggang di malam yang semakin larut, tiba-tiba saja ponsel Justin berdering, tanda telepon masuk.
“Bisa tolong bantu aku menghubungkan ponselku ke audio mobil?” pinta Justin padaku.
Aku pun mengangguk.
Agar Justin bisa tetap fokus menyetir, aku segera mengambil ponsel Justin yang tergeletak di tengah tempat dudukku dan tempat duduknya, kemudian aku melihat bahwa ternyata yang menelpon adalah David. Setelah menekan tombol di bagian depan mobil untuk menghubungkan ponsel Justin dengan audio mobil, aku pun menekan tombol terima panggilan.
“Halo, Tuan Justin? Apa kau sudah pulang dari kantor?”
Alih-alih suara David, yang terdengar adalah suara seorang wanita yang sedang sangat panik. Aku meyakini bahwa wanita itu adalah pelayan atau pengasuh Lily di rumah keluarga Lawrence, sebab saat waktu itu aku pernah mengantar Lily pulang, aku bertemu dengan salah satu pelayan dan sempat mengobrol dengannya. Dan suara wanita yang menelpon menggunakan nomor telepon David ini sangat persis dengan pelayan itu.
“Sudah. Kenapa?” jawab Justin singkat.
“Nona Lily jatuh dari tangga, Tuan.”
Mendengar apa yang dikatakan pelayan itu, Justin yang terkejut langsung menginjak rem kuat-kuat hingga membuat aku dan dirinya hampir terjerembab ke depan dan celaka karena membentur dashboard kalau saja kami tidak terselamatkan oleh sabuk pengaman.
Aku pun sama panik dan terkejutnya dengan Justin setelah mendengar perkataan pelayan soal apa yang terjadi pada Lily, dan keterkejutanku makin bertambah karena tindakan Justin yang benar-benar membahayakan nyawa kami.
Beruntungnya, jalanan renggang malam ini dan tidak ada mobil yang sedang melaju kencang di belakang kami sehingga tidak terjadi tabrakan beruntun karena Justin mengerem secara mendadak.
“Di mana Lily sekarang?” tanya Justin dengan panik.
“Nona Lily sedang ditangani di ruang ICU rumah sakit. Aku akan mengirimkan alamat rumah sakitnya padamu melalui pesan,” ujar pelayan itu seraya mengakhiri panggilan.
Sedetik kemudian, setelah mendapatkan pesan berisi nama dan alamat rumah sakit tempat Lily berada saat ini, Justin langsung memutar arah mobilnya dan melaju kencang menuju rumah sakit.
“Apa kau baik-baik saja, Haley? Maksudku, tadi kau hampir terbentur,” kata Justin padaku selagi dia masih menginjak pedal gas dan fokus menyetir.
“Ya, aku baik-baik saja,” jawabku.
Begitu tiba di rumah sakit, Justin langsung berlari melewati lobi menuju ruang ICU yang ada di ujung lorong. Kulihat pria itu benar-benar sangat panik dan mencemaskan putrinya, bahkan sampai hampir menabrak beberapa orang yang berlalu lalang di koridor rumah sakit.
Sesampainya kami di depan ruang ICU, kami melihat keberadaan David, satu orang perempuan berseragam pelayan, dan satu orang perempuan lainnya yang berseragam baby sitter.
“Mana Lily?” tanya Justin dengan napas yang memburu dan kedua mata tajamnya yang terlihat marah.
“Dia masih ditangani oleh dokter,” jawab David.
Sedetik kemudian, Justin mencengkeram kerah kemeja hitam yang David kenakan, lalu langsung melayangkan tinju ke wajah David.
Melihat kejadian itu, tentu saja aku merasa syok dan langsung menutup mulutku dengan kedua telapak tangan.
“Kenapa kau membiarkan ini terjadi?! Kenapa kau tidak menjaganya dengan benar, hah?!” bentak Justin. Dia beralih menatap pelayan dan baby sitter yang kini menundukkan kepalanya karena takut.
“Kalian juga. Dari belasan orang yang ada di rumah untuk menjaganya, mengapa tak ada satupun yang bisa mencegah ini terjadi?!” Justin kembali membentak dengan penuh emosi. Bahkan suaranya yang lantang itu bergema di seluruh koridor depan ruang ICU.
“Nona Lily berlarian di dekat tangga, lalu tidak sengaja terpeleset dan akhirnya jatuh. Kami benar-benar minta maaf,” sang pelayan menjelaskan.
“Kalian pikir untuk apa aku menggaji kalian?! Bisa-bisanya kalian membiarkan itu terjadi pada anakku!” tukas Justin.
Aku pun mengusap-usap punggung Justin sebagai upaya untuk membuatnya sedikit tenang. Kemudian, aku menarik tangannya dan mengajaknya untuk duduk di kursi tunggu.
“Tenanglah. Lily akan baik-baik saja,” ujarku padanya.
Justin hanya diam. Pria itu melirik sekilas padaku, lalu mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan dengan penuh rasa frustrasi.
Bersambung .....
