Bab 3

Jam menunjukkan pukul setengah satu siang ketika aku sedang sibuk membantu Justin mencetak revisi proposal proyek baru untuk dipaparkan dalam rapat penting sore nanti kepada para investor utama Lawrence Company.

Ini adalah hari ketigaku bekerja di perusahaan teknologi ini.

Ada kebanggaan dalam diriku sendiri karena aku bisa dengan cepat memahami segala aspek yang berhubungan dengan pekerjaanku di Lawrence Company. Meski sesekali aku masih bingung dan belum paham pada beberapa hal mengenai prosedur di Lawrence Company untuk penggunaan data dari ruang arsip, tapi aku bisa dengan cepat beradaptasi.

Jangan kalian pikir aku akan bertanya pada Justin jika aku tidak memahami suatu hal. Tidak. Sama sekali tidak. Rupanya Olivia benar, Justin sangat kejam dan galak. Sedikit saja aku melakukan kesalahan, tamatlah riwayatku. Semoga aku bisa bertahan.

Saat aku bertanya pada Justin tentang suatu hal yang belum aku ketahui, dia hanya akan melirikku dengan tatapan dingin, lalu berkata dengan ketus dan kejam, “Kalau sekali lagi kau menggangguku dengan pertanyaanmu yang bodoh itu, aku sungguh akan memecatmu.”

Karena itulah, daripada aku benar-benar dipecat, pada akhirnya aku meminta bimbingan dari Olivia ataupun beberapa rekan sesama sekretaris petinggi perusahaan yang memiliki ruangan di lantai lima puluh. Aku benar-benar merasa beruntung karena sebagian besar rekan kerjaku di Lawrence Company sangat ramah dan tidak segan menolongku untuk beradaptasi.

Saat aku telah selesai mencetak semua proposal yang telah direvisi, aku pun membawanya ke dalam ruangan Justin.

Pria itu sedang fokus pada layar iPad ketika aku melangkah masuk dan menghampiri meja kerjanya.

“Aku sudah melakukan revisi pada proposal yang kau berikan dan telah mencetak keseluruhannya,” kataku sembari meletakkan tumpukan kertas yang aku pegang ke meja kerja Justin.

Pria berambut hitam kecokelatan itu meletakkan iPadnya dan langsung mengambil proposal yang aku berikan. Selagi dia mulai membalik-balik proposal itu untuk memeriksa isinya, aku pun berpamitan keluar untuk kembali ke meja kubikalku.

Baru saja aku berjalan beberapa langkah menuju pintu, tiba-tiba Justin memanggilku.

Aku pun berbalik dan melihat dia berdiri dari duduknya dan menatapku dengan tajam.

“Mengapa di proposal ini tidak ada data grafik penurunan harga saham bulan lalu?” tanya Justin ketika dia akhirnya berdiri tepat di hadapanku.

“Oh itu, grafiknya memang sengaja tidak aku cetak karena aku pikir nantinya grafik itu akan menimbulkan pandangan negatif dari para investor,” kataku.

Aku tertegun susah payah ketika melihat Justin mulai menatapku dengan kilatan marah. Rahangnya yang tajam itu mengeras, dan hal tersebut membuatku langsung mengulum bibir karena panik.

“Berani sekali kau! Mengapa bertindak lancang dengan mengubah struktur isi proposalku menurut pemikiranmu?!” ucap Justin dengan keningnya yang berkerut marah.

“A-aku... tapi, tadi kan kau sendiri yang bilang bahwa kau memintaku untuk menyingkirkan data-data yang tidak penting di dalam proposal itu,” kataku dengan sedikit terbata.

“Apa kau tidak tahu kalau grafik harga saham sangat diperlukan dalam segala situasi? Astaga, kau ini bodoh sekali! Mengapa tidak becus hanya untuk mengerjakan revisi dan mencetak proposal seperti ini?!” bentak Justin.

“Tapi kan kau...” ucapanku terpotong ketika Justin melangkah mendekat ke arahku. Sangat dekat, hingga akhirnya jarak tubuh kami hanya sekitar tiga sentimeter saja.

Aku tertegun. Aku harus mendongak untuk menatapnya yang jauh lebih tinggi dariku. Saat ini, pria bertubuh tinggi itu berdiri tepat di hadapanku dan menatapku dengan tatapan menusuk. Aku tidak tahu harus merasa kagum karena dapat melihat wajah tampannya dengan jarak yang sedekat ini, atau justru merasa panik karena wajah tampannya itu nampak sangat marah dan tegas.

“Kau berani menjawab teguranku? Kau baru tiga hari bekerja di sini, apa kau mau kupecat?” ujar Justin dengan segala penekanan pada tiap kata yang keluar dari mulutnya.

Aku menggeleng cepat, “Tidak, tidak. Jangan pecat aku.”

“Kalau begitu, bekerjalah dengan benar dan jangan coba-coba bersikap lancang di hadapanku!”

Mendengar bentakannya, aku hanya bisa mengangguk, “Baiklah, aku mengerti. Maafkan aku. Berikan proposal itu, biar aku perbaiki lagi.”

Dia menepis tanganku ketika aku ingin mengambil tumpukan kertas tersebut dari tangannya.

“Tidak usah!” sahutnya. Dia mundur dua langkah untuk menjauhiku, kemudian dia menghela napas pelan. Dengan tatapannya yang masih tajam menusuk, dia pun melanjutkan, “Siang ini juga, aku mau kau mencarikan tempat les piano terbaik di sekitaran Manhattan untuk anakku. Dan sore nanti, kau sudah harus menemukannya dan langsung mengajak anakku ke sana untuk mendaftar.”

“Anak?!” aku mengernyit terkejut.

Aku tahu kalau Justin memang sudah berusia tiga puluh tahun, tapi wajah tampannya yang kelihatan masih segar dan sempurna itu sama sekali tak mendeskripsikan kalau dia sudah punya anak.

Tak ingin dimarahi lagi karena membantah, aku pun langsung berkata, “Baiklah. Aku akan segera menemukan tempat lesnya.”

“Ya sudah, pergilah sekarang. Sore ini saat anakku akan ke sini, kau harus langsung mengajaknya ke tempat les itu untuk mendaftar.”

Aku mengangguk mengiyakan, “Kalau begitu, aku permisi dulu.”


Aku menunduk dan menatap kedua kakiku yang terekspos karena saat ini aku memakai gaun marun seatas lutut hasil produksi Dolce & Gabbana.

Aku mengetuk-ngetuk ujung heels hitam di kaki kananku ke tanah, kemudian menghela napas pelan. Sudah hampir sepuluh menit aku berdiri di depan gedung Lawrence Company untuk menunggu Steven, pacarku.

Aku mengabari Steven kalau bosku memintaku mencarikan tempat les piano terbaik untuk anaknya. Berhubung Steven punya banyak kenalan pemusik dan tahu banyak tentang tempat les musik di New York, Steven berkata padaku kalau dia akan menemaniku mencarikan tempat les piano untuk anaknya Justin.

Sekitar lima menit kemudian, sebuah mobil Audi A8 berwarna hitam berhenti beberapa meter di depanku. Ketika kaca mobil itu diturunkan, aku melihat keberadaan Steven di dalam sana yang sedang tersenyum padaku dan mengisyaratkanku untuk masuk ke mobil.

“Apa kau menunggu lama? Maaf ya, Sayang, aku agak terlambat menjemputmu. Tadi aku sempat terjebak macet,” kata Steven setelah aku duduk manis di kursi penumpang di sebelahnya.

“Tidak apa-apa,” jawabku sambil mengulas senyum padanya ketika dia mengecup keningku dengan lembut.

Sementara Steven mulai melajukan mobilnya menyusuri jalanan kota New York yang cukup padat siang ini, aku pun bertanya, “Jadi, di mana tempat les piano terbaik di Manhattan?”

“Temanku memberitahuku kalau di sekitar Lower Manhattan ada sebuah tempat les alat musik yang katanya terkenal sampai ke New Jersey. Temanku "bilang, yang mengikuti sesi les alat musik di sana adalah anggota keluarga konglomerat dan pejabat negara."

“Benarkah? Itu bagus sekali. Nampaknya memang cocok untuk anak bosku. Kita jadi tidak perlu keliling seluruh wilayah Manhattan untuk melakukan survei satu persatu.”

“Iya. Temanku sudah memberikan alamat tempat les tersebut padaku. Apa kita akan ke sana sekarang?” tanya Steven.

Aku pun mengangguk untuk menjawab pertanyaannya.

“Baiklah kalau begitu.”

“Maaf ya kalau aku merepotkanmu di jam makan siang begini. Seharusnya kau berada di kantormu dan istirahat makan siang, tapi malah harus menemaniku mencari tempat les untuk anak bosku,” ucapku penuh penyesalan.

“Tidak apa-apa, Sayang. Sama sekali bukan masalah. Nanti setelah dari tempat les yang tadi aku bilang, kita bisa makan siang bersama.”

Aku tersenyum pada Steven. Pria tampan yang sudah aku pacari selama lima tahun semenjak aku masih kuliah itu memang selalu membuatku semakin jatuh hati. Dia seumuran denganku, dan dulu kami kuliah di kampus dan jurusan yang sama, bahkan satu kelas.

Sejak lulus kuliah, dia langsung diterima bekerja di sebuah perusahaan industri yang cukup besar. Dan sejak satu setengah tahun yang lalu, Steven telah naik jabatan menjadi Manajer Keuangan di perusahaan tersebut setelah sebelumnya sempat menjabat menjadi Supervisor selama lima bulan. Lihatlah, dia sangat sukses dan berbanding terbalik denganku.

Dari dulu sampai sekarang, Steven selalu setia, peduli, dan sangat perhatian padaku. Bahkan meski aku menganggur selama bertahun-tahun setelah lulus kuliah, dia tetap setia padaku dan tidak menghakimiku sama sekali, tapi justru malah mendukungku dan menyemangatiku.

Itulah mengapa beberapa hari yang lalu dia sangat senang dan bahkan sampai menghadiahiku tas Gucci dan Chanel setelah tahu kalau aku diterima bekerja di Lawrence Company.


Bersambung.....

Bab Sebelumnya
Bab Selanjutnya