Bab 4

Setelah mengunjungi sebuah tempat les musik yang terletak di Lower Manhattan, Steven mengantarku kembali ke gedung Lawrence Company pada pukul setengah empat sore.

Well, aku rasa tempat les musik yang Steven beritahu padaku, memang sangat cocok untuk anaknya Justin. Sebab, alih-alih sekadar tempat les atau kursus, menurutku tempat itu malah lebih pantas disebut sebagai sekolah musik yang sangat elit. Bangunannya besar dan megah, fasilitasnya benar-benar bagus dan mengagumkan, bahkan tempat les tersebut menyediakan kursus khusus untuk 20 macam alat musik dengan puluhan tutor yang sangat ahli pada masing-masing alat musik.

Aku sempat melihat daftar nama-nama tutor di tempat kursus itu, dan aku melihat bahwa sejumlah musisi ternama Amerika ternyata mengajar di sana.

Karena itulah, tanpa pikir panjang, aku langsung menetapkan bahwa tempat les tersebut memang cocok untuk anak dari sang CEO Lawrence Company, sehingga aku tidak perlu pergi berkeliling Manhattan untuk mencari tempat les yang lain.

“Terima kasih banyak karena kau mau menemaniku, sampai-sampai kau rela izin dari kantormu dan membolos sampai sore,” kataku pada Steven dengan penuh perasaan bersalah setelah akhirnya Audi A8 yang dia kendarai berhenti tepat di samping trotoar di depan gedung Lawrence Company.

“Tidak apa-apa. Sama sekali bukan masalah bagiku,” jawab Steven seraya mengecup keningku.

“Ya sudah, kalau begitu, aku pergi dulu ya. Berhati-hatilah di jalan. Kabari aku lewat pesan jika kau sudah sampai di kantormu,” ujarku pada kekasihku itu. Aku pun mencium pipinya berkali-kali karena masih merasa tak rela untuk menyudahi pertemuanku dengannya ini.

“Iya, Haley. Sampai jumpa,” balas Steven.

“Sampai jumpa,” aku tersenyum padanya, kemudian turun dari mobil Audi A8 berwarna hitam mengkilat miliknya itu.

Aku bergegas memasuki gedung Lawrence Company, kemudian menaiki lift untuk ke lantai 50. Setelah sampai di lantai tersebut, aku pun segera berjalan menuju ruangan Justin.

Setibanya di ruangan Justin, aku melihat ada seorang gadis kecil berambut pirang di sana. Gadis yang rambut pirangnya di kuncir dua itu sedang duduk di sofa di sisi ruangan dengan ditemani oleh seorang pria tinggi besar berpakaian serba hitam yang aku duga adalah bodyguardnya.

Aku pun tentunya tahu bahwa gadis kecil yang sangat imut tersebut pasti adalah anaknya Justin.

“Kau Haley Walter, kan?” kata pria berjas hitam itu padaku.

“Ya, aku Haley,” jawabku. Tak melihat keberadaan Justin di ruangan itu, aku pun bertanya pada pria tersebut, “Apakah Justin sudah pergi untuk mengikuti rapat sore ini?”

“Belum. Dia sedang pergi ke ruang operasional di lantai bawah,” jawab pria itu, “Kau sudah menemukan tempat kursusnya, kan?”

Aku mengangguk, “Sudah.”

“Baiklah kalau begitu. Perkenalkan, Aku David. Tuan Justin bilang padaku kalau kau harus segera membawa Lily untuk mendaftar ke tempat kursus tersebut. Ayo, aku yang akan mengantarmu dan Lily ke sana.”

“Oh? Jadi anak ini bernama Lily? Nama yang sangat bagus,” ucapku dengan gemas pada anak kecil berambut pirang yang kini menatapku dengan kedua matanya yang indah dan besar.

“Hai, Lily. Kau cantik sekali,” kataku lagi sembari membungkukkan badanku untuk mengelus-elus puncak kepala gadis kecil bernama Lily itu.

Lily nampak malu-malu padaku. Gadis itu mengulum bibir untuk menahan senyum ketika aku terus mengelus puncak kepalanya dan memberi pujian cantik untuknya.

“Ayo, aku akan menemanimu untuk mendaftar kursus piano,” ucapku dengan lembut sembari menjulurkan tangan kananku agar digenggam oleh gadis kecil itu.

Lily pun turun dari sofa yang didudukinya, kemudian menerima uluran tanganku. Aku mulai berjalan keluar dari ruangan Justin sembari menggandeng Lily, sementara bodyguard Lily yang tadi memperkenalkan diri sebagai David, mengekor di belakang kami.

Saat kami tiba di area lift, ada salah satu lift yang pintunya baru saja terbuka, dan Justin pun keluar dari dalam lift tersebut sehingga kami pun berpapasan.

“Ayah!” jerit Lily kegirangan.

Justin hanya tersenyum simpul pada putrinya itu. Kemudian, dia beralih menatapku dan berkata dengan suaranya yang tajam, “Besok pagi aku harus sudah menerima laporan pemasukan perusahaan bulan lalu dari Divisi Keuangan yang telah kau periksa. Lalu, besok pagi kau juga harus memberikan padaku proposal untuk proyek pengembangan, berkas-berkas untuk materi pertemuan di Wall Street, serta daftar indeks saham bulan lalu agar bisa segera aku analisis."

“Baiklah, aku mengerti,” jawabku dengan sikap yang biasa-biasa saja meski sebenarnya batinku menjerit dan meronta-ronta memikirkan rentetan tugas baru yang harus aku kerjakan setelah disebutkan satu persatu oleh Justin.

Padahal sebenarnya, masih ada setumpuk dokumen yang belum aku periksa di mejaku, sebab siang tadi aku harus menyempatkan diri pergi untuk mencarikan tempat kursus musik untuk Lily.

Dan sekarang, pekerjaanku yang masih bertumpuk malah harus ditambah lagi. Sesak sekali rasanya memikirkan bagaimana caranya menyelesaikan semua tugas itu dalam waktu kurang dari 24 jam karena besok pagi harus sudah diterima oleh Justin. Belum lagi sekarang aku masih harus mengantar Lily mendaftarkan diri ke tempat kursus.

'Melelahkan sekali,' pikirku.

Setelah itu, aku melihat Justin mengelus kepala Lily sebelum akhirnya dia berjalan pergi karena harus segera menghadiri rapat penting dengan para investor yang akan diadakan sore ini. Dan setelah kepergian Justin, aku menyadari kalau wajah Lily langsung terlihat murung.

Aku pun mengerti apa yang terjadi. Aku mengerti bahwa Lily pasti merasa sedih melihat ayahnya bersikap cuek seperti itu karena sibuk dengan pekerjaan. Aku pun juga menyadari bahwa sepertinya selama ini Lily memang kerap kali kurang mendapatkan perhatian dari ayahnya.

Tapi mau bagaimana lagi? Semua orang pun tahu bahwa seorang Justin Lawrence yang merupakan CEO di perusahaan besar seperti Lawrence Company memang adalah orang yang sangat sibuk.

Aku sendiri bahkan sedikit tidak menyangka bahwa dia sudah punya anak, sebab aku pikir orang seperti Justin hanyalah pria workaholic yang tidak peduli pada apapun selain pada bisnis dan perusahaan.

Setelah Justin pergi, aku pun mengajak Lily dan David untuk segera masuk ke dalam lift. Kami bertiga menaiki lift itu dan turun ke lantai dasar untuk keluar dari gedung melalui lobi. Kami pergi ke tempat parkir dan mendatangi sebuah mobil mewah yang kemudian dikendarai oleh David dan membawa kami semua menuju tempat kursus yang tadi sudah aku datangi bersama Steven.


Bersambung .....

Bab Sebelumnya
Bab Selanjutnya