Bab 7
“Haley, buka pintunya!”
Aku membuka kedua mataku ketika mendengar suara yang memanggilku sambil menggedor-gedor pintu.
Sambil mengernyit geram karena merasa tidurku terganggu padahal kantuk masih merayap di kedua mataku, aku pun berdecak kesal dan merutuki siapapun yang ada di luar sana yang berani mengganggu tidur sesaatku.
“Haley!”
Aku pun akhirnya sadar bahwa itu adalah suara Justin. Dengan perasaan kesal, aku turun dari kasur di ruang istirahat karyawan dan berjalan menuju pintu, lalu membukanya.
“Ada apa, sih?” ucapku dengan agak ketus pada pria itu. Entah akan dibilang tidak sopan atau semacamnya, aku tidak peduli. Justin lebih tidak sopan karena membangunkanku dengan cara menggedor-gedor pintu seperti tadi. Padahal saat ini jam belum menunjukkan kalau aku sudah istirahat selama empat jam seperti yang diizinkan Justin tadi.
“Kenapa tidak mengangkat telepon dariku?” tanya Justin dengan ekspresi wajah yang terlihat marah.
“Aku mengaktifkan mode diam saat sedang tidur,” jawabku seraya berbalik untuk mengambil ponselku yang tergeletak di atas kasur di ruangan itu.
“Kau seharusnya mengangkat teleponku atau setidaknya menjawab pesan dariku,” tukas Justin.
Aku menghela napas pelan, “Sekarang kan masih pukul sebelas, Justin. Kau bilang kau memberikan waktu istirahat untukku selama empat jam, dan sekarang baru tiga jam.”
“Aku tidak peduli. Sekalipun aku memberikan waktu istirahat untukmu selama sejam, tapi kalau baru lima belas menit aku membutuhkanmu, kau harus siap sedia,” titah pria itu.
Tak ingin kena masalah karena membantah ucapan bosku itu, aku akhirnya terdiam menatapnya, lalu membalas, “Baiklah, maafkan aku. Apa yang kau butuhkan? Bukankah semua berkas yang akan kau gunakan untuk jadwalmu hari ini sudah aku siapkan semua?”
“Tidak, bukan soal itu,” jawab Justin. Dia berbalik dan berjalan meninggalkan ruang istirahat karyawan yang terdiri dari tiga kamar. Tanpa berbalik lagi, dia berkata padaku, “Ayo, ikut aku.”
Aku pun patuh dan bergegas mengekorinya.
Kami menaiki lift dan turun dari lift itu di lantai lima puluh, kemudian kami bergegas ke ruangan Justin yang terletak di sudut koridor, ruangan paling besar dari semua ruangan yang ada di lantai tersebut.
“Jelaskan padaku, apa maksudnya ini?” tanya Justin sembari menunjukkan layar iPad miliknya padaku.
Aku berdiri di sebelahnya dan menatap layar iPad tersebut. Di sana, aku mendapati sebuah gambar yang jelas sekali dibuat oleh anak kecil pada umumnya, yaitu gambar orang yang dibuat dengan bentuk kepala bulat dan tubuh lidi dengan pakaian seadanya.
Gambar itu terdiri dari seorang anak kecil yang berdiri di tengah-tengah antara satu wanita dan pria dewasa yang berdiri saling berjauhan. Aku mengernyitkan kedua mataku ketika melihat bahwa gambar pria dewasa diberikan dasi di lehernya, sementara gambar wanita dewasa wajahnya dicoret-coret dengan krayon merah dan hitam.
“Kau jauh-jauh pergi ke lantai tiga puluh dan membangunkanku hanya untuk menanyakan apa maksud dari gambar ini?” tanyaku tak habis pikir.
Justin mengangguk, “Lily mengirimkan gambar ini padaku melalui email. Kemudian, dia menelponku melalui panggilan video dan menyuruhku untuk menebak secara rinci maksud dari gambar ini. Aku menjawab kalau aku tidak tahu, lalu tiba-tiba dia menangis dan marah padaku karena aku tidak bisa menebak.”
“Gambar ini Lily yang buat? Wow, menggemaskan sekali anak itu,” gumamku sambil tersenyum gemas sembari memandangi gambar di layar iPad tersebut.
“Cepat jelaskan padaku, apa maksudnya?” pungkas Justin.
“Masa begini saja kau tidak tahu?”
“Bagaimana aku bisa tahu? Dia menyuruhku menebak perasaannya melalui gambar. Kau pikir aku cenayang?”
Aku mendecakkan lidahku beberapa kali dan menatap Justin sambil menggeleng pelan, “Kau benar-benar berhati keras, Justin. Sampai-sampai kau tidak tahu gambaran perasaan anakmu sendiri.”
Setelah menghela napas, aku pun mulai menjelaskan sembari menunjuk gambar di layar iPad tersebut, “Gambar ini menunjukkan potret Lily bersama ayah dan ibunya. Dia berdiri di tengah-tengah di antara ayah dan ibunya yang saling berjauhan. Lihatlah, Lily membuat wajahnya berekspresi sedih di gambar ini. Dari situ saja seharusnya kau sudah bisa menebak bahwa dia mendeskripsikan kesedihan.”
“Lalu?”
“Lily menggambar wajahmu dengan ekspresi senyum, menandakan kalau Lily berpikir bahwa kau bahagia dan tidak peduli pada Lily meski Lily berekspresi sedih. Selain itu, dia mencoret-coret wajah ibunya dengan tinta hitam dan merah sebagai gambaran kebencian dan kekecewaan. Ini adalah ilmu dasar dari mempelajari psikologi anak. Memang tidak mudah memahaminya, tapi hanya dari melihat gambar ini pun sebenarnya sudah dapat diterka apa yang dirasakan Lily.”
“Apakah itu penting?”
Aku tercengang mendengar pertanyaan Justin barusan. Aku berpindah posisi berdiri menjadi di hadapannya. Sambil menatapnya tak habis pikir, aku pun berkata, “Tentu saja penting. Anak seumur Lily punya ingatan dan perasaan yang sangat kuat. Jika di umurnya yang sekarang dia merasakan banyak hal yang negatif, dia akan tumbuh besar dengan pengaruh perasaan itu. Kau benar-benar tidak pernah memerhatikan anakmu ya? Astaga, Lily yang malang. Dia pasti sangat kesepian dan tertekan.”
Kulihat Justin terdiam. Ekspresi di wajah tampannya yang tegas itu terlihat sulit ditebak. Biasanya pun ekspresi Justin memang selalu sulit ditebak. Tapi kali ini, aku melihatnya jauh berbeda dari biasanya. Aku tidak yakin apakah benar atau tidak, tapi kulihat mata birunya yang tajam itu nampak agak sendu.
Aku pun tidak tahu apa yang sedang dia pikirkan sekarang, tapi aku rasa dia mencerna semua ucapanku tadi dan mulai memikirkan Lily dengan perasaan khawatir.
Bersambung .....
