Bab 9

Aku baru saja selesai makan siang dan kembali ke meja kubikalku untuk meletakkan beberapa berkas yang diberikan Olivia. Berkas-berkas itu adalah laporan keuangan yang dikirim dari cabang Lawrence Company di kota Boston yang harus aku periksa sebelum aku serahkan pada Justin nanti sore.

Setelah meletakkan berkas-berkas itu di atas meja, aku berniat untuk pergi ke pantry karena ingin membuat secangkir kopi dulu sebelum kembali bekerja.

Namun, baru saja aku akan berbalik, tiba-tiba aku mendengar suara teriakan anak kecil dari dalam ruangan Justin.

“Haley!”

Aku pun menoleh. Dari pintu kaca ruangan Justin, aku melihat Lily melambai-lambaikan tangannya padaku sembari melompat-lompat kegirangan. Aku juga melihat Justin sedang duduk di kursi kerjanya, dan kulihat juga David sedang duduk di sofa ruangan Justin untuk memantau Lily. Dan karena Lily berteriak memanggil namaku, kini Justin dan David pun juga menatapku.

Aku tersenyum pada Lily. Mengurungkan niatku untuk ke pantry, aku pun membuka pintu ruangan Justin dan masuk ke dalam.

“Haley!” teriak Lily sambil berlari ke arahku dan langsung memelukku. Karena gadis kecil berusia lima tahun itu tubuhnya masih pendek, jadi yang bisa dia peluk hanyalah kakiku.

“Hai, Cantik,” sapaku sambil tersenyum. Aku berlutut untuk menyamakan tinggiku dengan Lily, lalu langsung membalas pelukan gadis kecil itu.

“Kenapa kau ada di sini siang-siang begini? Kau tidak sekolah, huh?” tanyaku pada Lily.

“Ini hari Sabtu. Aku sekolah lagi hari Senin,” jawab Lily dengan suaranya imutnya yang menggemaskan.

“Benarkah sekarang hari Sabtu? Ya ampun, aku tidak lihat kalender,” gumamku seraya melepas pelukanku pada gadis kecil itu.

“Haley pelupa,” ledek Lily sambil tertawa.

Aku pun ikut tertawa dan mengelus-elus rambut pirangnya yang dikuncir dua.

“Semalam aku menggambar sesuatu untukmu,” ujar Lily.

“Oh ya? Gambar apa? Tunjukkan padaku.”

Lily berjalan ke arah Justin dan meminta Justin untuk mengambilkan sesuatu dari atas meja kerjanya. Kemudian, gadis itu pun kembali lagi padaku sambil membawa secarik kertas gambar dan sekotak krayon.

“Wah, bagus sekali,” pujiku sembari menerima kertas tersebut, di mana terdapat sebuah gambar seorang wanita berambut cokelat dengan pakaian berwarna pink. Sewajarnya anak kecil umur lima tahun, gambar itu ala kadarnya dengan tubuh lidi dan kepala bulat yang diberi goresan krayon cokelat untuk rambut.

“Kau memang pandai menggambar ya? Setelah dewasa nanti, apa kau ingin menjadi pelukis?” tanyaku dengan gemas pada Lily yang berdiri di hadapanku.

“Tidak. Aku ingin menjadi seperti Haley saja agar bisa bekerja bersama Ayah setiap hari dan agar tidak jauh-jauh dari Ayah.”

Mendengar jawaban Lily, aku pun beralih menatap Justin yang masih duduk di kursi kerjanya. Sejak tadi pria itu menatapku dan Lily, namun tidak mengatakan apa-apa dan diam saja.

“Ayah, bolehkah aku bermain bersama Haley? Aku ingin menggambar bersamanya,” Lily bertanya pada Justin.

“Ada banyak tugas yang harus Haley kerjakan. Kau main di sini saja bersama David,” jawab Justin.

Kulihat Lily langsung menunduk sedih. Tak tega melihat gadis imut itu bersedih begitu, aku pun langsung berkata, “Tidak apa-apa. Aku akan menemanimu menggambar. Tapi, selagi kau menggambar, aku juga mengerjakan pekerjaanku ya.”

Lily tersenyum sumringah dan mengangguk penuh semangat.

Aku pun tersenyum. Kemudian, aku menggandeng tangan Lily dan membawanya keluar dari ruangan Justin untuk ke meja kubikalku.

Aku mengambil sebuah kursi dan meletakkan kursi itu tepat di samping kursi milikku, lalu kugendong Lily dan mendudukkan gadis itu di kursi tersebut.

“Nah, gunakan ini untuk menggambar,” ujarku sambil memberikan selembar kertas HVS dan sebuah pensil yang ada di mejaku untuk Lily.

“Baiklah. Terima kasih, Haley,” jawab Lily.

Aku mengangguk untuk meresponsnya. Selagi Lily mulai asyik menggambar, aku pun juga mulai fokus memeriksa laporan keuangan dari cabang Lawrence Company di Boston.

Tadinya memang niatku ingin membuat kopi dulu, tapi aku rasa itu tidak terlalu penting.


“Ada kiriman, Haley!”

Aku memejamkan mataku ketika mendengar suara Olivia yang bicara dengan suara kencang dari kejauhan. Ketika aku melongok melalui kubikalku, aku melihat Olivia berjalan ke arahku sambil melambai-lambaikan sebuah amplop cokelat.

“Lagi?” ujarku dengan lelah ketika Olivia tiba di depan kubikalku.

“Yap,” jawab Olivia. Wanita yang memakai kemeja biru tua itu tersenyum lebar ketika melihat Lily yang saat ini sedang berada di pangkuanku.

“Hai, Lily!” sapa Olivia.

Lily tersenyum malu-malu. Dia langsung menoleh ke belakang dan menatapku dengan mata birunya yang bersinar.

“Kau mengenal Olivia, kan? Dia resepsionis di lantai bawah,” ujarku dengan lembut pada Lily.

Lily menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Well, aku rasa dia hanya mengenalmu,” ujar Olivia, “Dia tidak pernah dekat dengan siapapun di gedung ini. Hanya padamu saja dia begini, bahkan sampai mau dipangku seperti ini. Benar, kan Lily?”

Lily hanya diam, dan lagi-lagi tersenyum malu. Hal itu benar-benar membuatku merasa gemas.

Kulihat Olivia menatap ruangan Justin, lalu dia bertanya, “Apakah Justin tidak ada?”

“Justin sedang ada urusan di luar,” jawabku.

Olivia mengangguk-anggukan kepalanya. Kemudian, dia menyerahkan padaku amplop cokelat yang dibawanya dan berkata, “Ini laporan tambahan dari cabang Lawrence Company di Boston.”

Aku pun menghela napas pelan dan menerima amplop tersebut.

Sambil memicingkan mata penuh curiga, Olivia kembali berkata, “Aku menelponmu berkali-kali untuk menginfokan kiriman ini, tapi tidak kau angkat. Sepertinya kau sengaja ya?”

“Memang,” sahutku dengan enteng, “Aku tahu kau menelpon karena ingin memberitahu soal kiriman ini. Makanya tidak aku angkat. Laporan sebelumnya saja belum selesai aku periksa dan masih aku diskusikan dengan pihak LC di Boston melalui surel karena ada beberapa kesalahan, sekarang malah ditambah lagi.”

“Ugh, sebetulnya aku ingin mengamuk padamu karena kau telah membuatku harus jauh-jauh datang ke sini. Tapi karena ternyata di sini ada Lily, aku tidak jadi mengamuk,” tutur Olivia sembari menjulurkan kedua tangannya ke arah Lily dan mencubit pelan pipi gadis kecil itu, “Astaga, kau lucu sekali.”

Aku hanya menghela napas dan kembali meneruskan aktivitasku untuk memeriksa keakuratan laporan keuangan yang harus aku serahkan pada Justin nanti sore, sementara Lily masih asyik mencoret-coret kertasnya dengan krayon.

“Omong-omong, sejak kapan Lily menempel padamu seperti ini?” tanya Olivia padaku, “Dari dulu tiap kali Justin memiliki sekretaris, tak ada satu pun sekretarisnya yang sedekat ini dengan Lily. Bahkan Lily pun selalu menghindar dari mereka. Benar kan, Lily?”

“Aku suka Haley,” ujar Lily dengan sembari memegang tanganku.

“Wah, kau suka Haley? Apakah karena Haley baik padamu?” tanya Olivia dengan gemas.

Lily mengangguk sambil tersenyum lebar, “Haley bilang, gambar-gambarku bagus. Haley juga mengajariku menggambar rumah.”

“Sungguh?” Olivia tersenyum lebar, “Kalau aku bilang gambar-gambarmu bagus, apa kau juga akan menyukaiku?”

Lily mengangguk lagi, “Tapi aku lebih suka Haley.”

Aku dan Olivia pun tertawa mendengar ucapan anak umur lima tahun itu.

“Kau lucu sekali,” kata Olivia sembari mengelus-elus rambut pirang Haley yang masih berada di pangkuanku. Kemudian, Olivia melanjutkan, “Kapan-kapan, kalau kau menggambar lagi bersama Haley, ajak aku juga ya. Aku juga ingin bermain bersama.”

Lily manggut-manggut.

Beberapa saat kemudian, Olivia pun berpamitan pergi untuk kembali ke lobi. Sementara aku kembali fokus pada pekerjaanku, dan Lily kembali asyik menggambar sambil berceloteh panjang lebar padaku. Selain menceritakan banyak hal tentang teman-temannya di sekolah, lalu menceritakan tentang keasyikannya mengikuti kursus piano, Lily juga bertanya ini itu padaku. Aku pun dengan senang hati meresponsnya.

Tak kusangka, anak ini memang benar-benar pandai bicara, cerdas, dan selalu ingin tahu banyak hal. Sungguh menggemaskan.


Bersambung.....

Bab Sebelumnya
Bab Selanjutnya