Bab [3] Pria yang Mirip dengan Anak-anak

Perasaan Citra Johari saat ini terasa aneh. Ia khawatir pria ini adalah pria yang menghabiskan satu malam dengannya, membuatnya ragu untuk bergerak.

Mungkin semua ini hanya kebetulan.

Di dunia ini, banyak sekali orang yang wajahnya mirip. Soal luka itu…

Pasti kebetulan juga!

Citra menenangkan hatinya, mengambil handuk dari baskom, memerasnya hingga kering, lalu dengan perlahan menyeka lumpur dan noda darah di wajah pria itu.

Ketika wajah pria itu terlihat sepenuhnya, jantung Citra berdebar kencang.

Bukan karena ia terpesona, tetapi karena ia belum pernah melihat wajah yang begitu bersih dan murni.

Garis wajahnya yang tegas memancarkan wibawa dan kekuatan. Hidungnya mancung, matanya yang sipit terpejam rapat. Begitu sempurna dan menakjubkan, membuat Citra tak bisa mengalihkan pandangannya.

Setelah diamati lebih saksama, wajah pria itu memang enam hingga tujuh puluh persen mirip dengan anak-anaknya.

Citra memeriksa seluruh pakaian pria itu, tetapi tidak menemukan satu pun kartu identitas yang bisa membuktikan siapa dirinya, bahkan ponsel pun tidak ada.

Namun, setelan jas dari bahan berkualitas tinggi ini jelas berharga mahal. Sepertinya, dia bukan orang biasa.

Teringat berita kecelakaan mobil yang ia dengar sebelumnya, Citra menjadi sangat curiga.

Mungkinkah dia adalah Arya Santoso?

Setelah jeda sejenak, Citra menyelimuti pria itu dan beranjak ke dapur untuk merebus obat herbal.

Dapur masih berantakan, hanya ada satu sudut yang bisa digunakan. Setelah meletakkan panci obat di atas kompor, Citra memandangi vila yang besar itu dan memutuskan untuk memanggil jasa kebersihan.

Sementara itu, ketiga anak kembarnya yang sejak tadi mengintip dari luar, menyelinap masuk ke kamar begitu melihat Citra pergi.

"Bapak Ganteng belum bangun."

Fara berlari kecil ke sisi tempat tidur. Begitu melihat wajah pria itu, ia berseru, "Wow! Ganteng banget Bapak ini!"

Si Tengah mencubit tengkuk Fara dan menariknya mundur. "Fara, jangan genit. Hati-hati nanti ditipu orang."

Fara mengerucutkan bibirnya. "Tapi, kan, memang ganteng banget! Wajah Bapak Ganteng sudah bersih, jadi mirip banget sama kita, ya!"

Setelah melihatnya, kedua anak laki-laki itu setuju. Si Tengah mengangguk. "Memang mirip. Apa jangan-jangan dia Ayah kita?"

Suara Si Sulung yang kekanakan terdengar lebih bijak. "Di dunia ini banyak orang yang mirip. Pria jahat yang meninggalkan Ibu juga mirip dengan kita."

Fara buru-buru melambaikan tangannya. "Pria jahat yang meninggalkan Ibu itu bukan Ayah kita!"

Si Tengah ikut menggeleng. "Jelas bukan, bukan!"

"Itu sudah pasti. Ayah kita pasti orang baik!" kata Si Sulung sambil melipat tangan di dada dengan sangat yakin.

Selama setahun terakhir, dari pembicaraan Ibu dan Tante mereka, ketiganya sudah bisa menebak-nebak asal-usul mereka.

Empat tahun lalu, Ibu dikhianati oleh seorang pria bajingan dan adik tirinya, lalu pergi ke luar negeri untuk melahirkan mereka. Namun, identitas ayah kandung mereka tidak ada yang tahu.

Si Sulung menduga, mungkin Ibu sendiri juga tidak tahu. Setiap kali ditanya di mana Ayah, raut wajah Ibu selalu terlihat sedih.

Perlahan, ia pun memberitahu adik-adiknya untuk tidak bertanya lagi. Hingga kini, mereka selalu menghindari topik itu.

Meski begitu, mereka tetap sangat ingin tahu siapa Ayah mereka.

Ketiga bocah itu serempak menatap pria yang masih tak sadarkan diri, wajah mereka dipenuhi kebingungan dan kesedihan.

Citra kembali setelah selesai merebus obat. Melihat anak-anaknya mengerumuni tempat tidur, tiba-tiba ia merasakan kehangatan sebuah keluarga yang utuh.

Pasti karena aroma obat herbal ini membuat kepalaku jadi aneh.

Fara yang pertama bertanya, "Ibu! Apa Bapak Ganteng bisa sembuh?"

"Tentu saja, Sayang," jawab Citra lembut. "Nanti kalau dia mau bekerja sama untuk pengobatan, pasti akan sembuh."

Jatuh dari tempat setinggi itu dan tidak mati, nyawanya benar-benar kuat.

Lengan dan kakinya patah. Sebaiknya setelah dia sadar, langsung dibawa ke rumah sakit saja.

"Ibu mau kasih dia minum obat. Kalian main di luar dulu, ya."

Citra menyuruh anak-anaknya keluar, lalu menopang kepala pria itu untuk memberinya minum obat.

Mungkin karena merasakan pahitnya obat, bibir pria itu terkatup rapat.

Sudah dicoba beberapa kali, tetapi obatnya tidak mau masuk.

Citra mulai kesal. Setelah menyeka bibir pria itu, ia melempar saputangan ke atas meja.

"Badanmu besar, tapi cengeng sekali. Kamu nggak suka obat pahit?"

Pria itu masih pingsan, tetapi mungkin karena rasa pahit itu, alisnya yang tampan berkerut tidak suka.

Citra menghela napas, lalu mencubit kedua pipi pria itu, memaksanya membuka mulut. Dengan sigap, ia menuangkan ramuan obat ke dalamnya.

Setengah mangkuk obat sudah diminum. Citra melepaskan tangannya, tetapi tak disangka, mulut pria itu sedikit terbuka dan memuntahkan kembali sebagian besar obatnya.

Citra mengerutkan kening. "Kalau kamu mau mati, jangan minum obatnya!"

Alis pria itu kembali berkerut, seolah-olah ia mendengarnya.

Citra melanjutkan usahanya. "Buka mulutmu! Kalau kamu muntahkan lagi, awas aku akan kasih minum pakai mulutku. Jangan bilang aku mengambil kesempatan, ya!"

Sepertinya ancaman itu berhasil. Bulu mata pria itu bergetar, dan kali ini ramuan obat itu tidak dimuntahkan lagi.

Selesai memberi minum obat, dahi Citra sudah basah oleh keringat.

Susah sekali merawatnya.

Bahkan tidak lebih penurut dari anak-anaknya!


Malam harinya.

Setelah menidurkan anak-anaknya, Citra tidak bisa tidur. Kejadian siang tadi terus berputar di kepalanya.

Ia mengenakan jaket tipis dan berjalan ke jendela, menatap bulan purnama di langit dengan perasaan campur aduk.

Semoga keputusannya untuk kembali kali ini adalah yang terbaik.

Citra pergi ke kamar tamu untuk memeriksa pria itu. Melihat wajahnya yang memerah dan dahinya yang berkeringat, ia segera menyentuh keningnya untuk memeriksa suhu tubuhnya.

Gawat, dia demam!

Untung saja ia cepat menyadarinya, kalau tidak, akibatnya bisa gawat.

Citra mengambil obat penurun panas dan menyuntikkannya, lalu melanjutkan dengan kompres untuk menurunkan suhu tubuh secara fisik. Dengan peralatan medis yang terbatas, tidak banyak yang bisa ia lakukan.

Setelah berjibaku sepanjang malam, menjelang fajar, demam pria itu akhirnya turun. Citra yang kelelahan pun tertidur dengan kepala bersandar di tepi tempat tidur.

Arya Santoso merasakan sekujur tubuhnya sakit luar biasa. Kepalanya pusing dan berat. Ia ingin membuka mata, tetapi tidak bisa. Ia juga mengalami mimpi yang sangat panjang, di mana suara seorang wanita yang tak bisa ia abaikan terus terdengar.

Ditambah lagi suara beberapa anak kecil.

Suara mereka yang ramai membuatnya ingin segera bangun.

Samar-samar, Arya Santoso membuka matanya. Hal pertama yang ia lihat adalah wajah mungil seorang wanita yang putih bersih. Bulu matanya yang panjang, di bawah sinar matahari, tampak seperti kupu-kupu yang sedang hinggap.

Arya mengira ia sedang berhalusinasi. Ia ingin melihat lebih jelas, tetapi kepalanya terasa sangat berat, matanya juga. Tak lama kemudian, ia kembali pingsan.


"Bapak Ganteng! Bapak Ganteng, kok belum bangun?"

Fara masuk sambil berlari kecil. "Lho, Ibu, kok Ibu duduk di lantai?"

Pagi-pagi sekali Fara sudah bangun dan langsung menuju kamar tamu untuk melihat Bapak Ganteng.

Mendengar suara itu, Citra mengangkat kepalanya dari tepi tempat tidur dan mengucek mata. Baru ia sadar kalau ia ketiduran.

"Fara, kok kamu bangun pagi sekali?"

"Aku mau lihat apa Bapak Ganteng sudah sembuh. Ibu, Bapak Ganteng belum bangun juga?"

Citra menyentuh dahi pria itu dan menghela napas lega.

Untungnya, demamnya sudah turun.

"Sebentar lagi juga sembuh, Sayang. Fara mandi dulu, ya. Ibu mau siapkan sarapan, nanti panggil kakak-kakakmu untuk makan."

Citra merapikan selimut pria itu, lalu mengajak Fara keluar.

Hampir tidak tidur semalaman membuat Citra merasa sangat lelah, tetapi ia tetap memaksakan diri membuat sarapan untuk anak-anaknya.

Melihat ketiga anaknya makan dengan lahap, Citra merasa sangat bahagia. Rasa lelahnya seakan sirna.

Citra terlalu mengantuk. Di tengah-tengah sarapan, ia tertidur dengan kepala di atas meja.

Fara baru saja akan bicara, tetapi Si Sulung memberi isyarat "ssst". Si Tengah dengan cepat mengambil selimut kecil dan menyelimuti punggung Citra.

Ketiga anak itu tidak pergi. Mereka mulai membereskan piring dan mangkuk dengan pelan.

Citra terbangun setelah tidur sekitar dua puluh menit. Melihat anak-anaknya mengerumuninya, hatinya terasa hangat. Ia lalu mengajak mereka kembali ke kamar untuk tidur sebentar lagi.


Setelah makan siang, Citra berencana pergi ke mal untuk membeli beberapa perlengkapan rumah tangga dan obat-obatan. Ia berpesan kepada anak-anaknya, "Nanti Ibu mau ke mal beli barang. Kalian baik-baik di rumah, ya. Masih ingat tiga hal yang tidak boleh disentuh?"

Si Tengah langsung mengangkat tangan. "Tahu, Bu! Tidak boleh sentuh pintu, tidak boleh sentuh listrik, dan tidak boleh sentuh api."

Citra mengusap kepala Si Tengah dengan puas. "Pintar. Ingat ya, Sayang-sayangku. Terutama, jangan bukakan pintu untuk orang asing. Nanti Ibu pulang bawakan makanan enak!"

"Siap, laksanakan!" jawab ketiga anak itu serempak sambil memberi hormat.

Bab Sebelumnya
Bab Selanjutnya