Bab [4] Aku Bisa Menyembuhkanmu
Selama beberapa tahun di luar negeri, Citra Johari bekerja serabutan sambil kuliah untuk menghidupi anak-anaknya. Awalnya, teman satu apartemennya membantu menjaga mereka. Setelah temannya pulang ke negaranya, perlahan-lahan anak-anaknya terlatih untuk bisa mandiri di rumah.
Hal ini membuat Citra merasa sangat lega.
Citra pergi ke mal terdekat, membeli kebutuhan sehari-hari dan perlengkapan anak-anak, lalu memilihkan beberapa potong baju untuk mereka. Setelah berpikir sejenak, ia pun beranjak ke area pakaian pria.
Pakaian pria itu sudah robek semua. Anggap saja ia sedang beramal, membelikannya beberapa setel pakaian.
Kalau tidak, masa dia harus telanjang terus.
Saat sedang asyik memilih, televisi di atasnya menayangkan berita terkini: "Baru-baru ini, CEO baru Grup Santoso, Arya Santoso, mengalami kecelakaan mobil. Menurut informasi, mobil kehilangan kendali akibat kecepatan tinggi, terguling ke jurang, lalu meledak. Namun, Arya Santoso tidak ditemukan di lokasi. Berikut adalah situasi di tempat kejadian. Saksi mata yang memiliki informasi diharapkan menghubungi pihak keluarga, imbalan besar akan diberikan."
Citra mendongak, tetapi gambar di layar hanya muncul sekilas sebelum berganti. Ia tidak sempat melihat dengan jelas.
Padahal, ia penasaran seperti apa wajah Arya Santoso itu. Sayang sekali tidak terlihat.
Ia menunggu beberapa segmen berita berikutnya, tetapi tidak ada lagi liputan tentang Arya Santoso.
Melihat hari sudah mulai sore, Citra memutuskan untuk pulang.
Di sisi lain mal, Sari Johari sedang memilih pakaian pria ketika sudut matanya menangkap siluet yang familier di seberang. Ia tertegun sejenak, lalu menajamkan pandangannya.
Yang terlihat adalah seorang wanita dengan postur tubuh sempurna dan paras yang jelita, sedang memilih pakaian pria dengan anggun dan tenang.
Wajahnya terasa tidak asing.
Alis Sari mengerut. Dengan enggan ia menebak, wanita cantik itu adalah kakak tirinya!
Citra Johari!
Dia muncul lagi?!
Melihat Citra hendak pergi, Sari bergegas mengejarnya, tetapi terhalang oleh kerumunan orang. Ditambah lagi, Citra berjalan dengan cepat, sehingga dalam sekejap Sari kehilangan jejaknya.
"Dasar jalang! Kenapa jalan cepat sekali!" umpat Sari.
Tiba-tiba teringat sesuatu, ia segera menelepon seseorang. "Kak Surya, aku tadi lihat Citra Johari! Beneran, biar jadi abu pun aku masih kenal dia! Oke, tolong selidiki dia tinggal di mana. Kali ini, jangan sampai dia kabur lagi!"
Dulu, Citra kabur begitu saja tanpa mengurus perceraian, membuatnya hidup bersama Surya Santoso dengan status yang tidak jelas. Meskipun sudah melahirkan seorang putra, ia tetap menjadi bahan gunjingan para istri sosialita.
Sudah empat tahun. Ia harus memaksa Citra untuk menandatangani surat cerai!
...
Ketiga anak kembar itu sangat patuh dan tidak menyentuh barang berbahaya apa pun. Si Tengah menemani Fara bermain catur, sementara Si Sulung membaca buku sambil sesekali membantu Fara menjalankan bidak caturnya.
Tidak lama kemudian, Fara mulai tidak betah duduk. Ia menyerahkan bidak catur ke tangan Si Sulung. "Aku mau lihat Bapak Ganteng sudah bangun atau belum!"
Tanpa menunggu reaksi Si Sulung dan Si Tengah, Fara langsung ngeloyor pergi. Mau tak mau, si kembar dua itu pun bergegas menyusul.
"Bapak Ganteng belum bangun juga, jangan-jangan sudah meninggal," kata Fara sambil menangkup pipinya yang tembam, matanya yang polos menatap lekat pria di ranjang.
"Nggak mungkin," sahut Si Tengah. "Ibu kan jago ngobatin, pasti bisa sembuh."
Si Sulung mengulurkan tangan untuk memeriksa napas pria itu, lalu berkata dengan tenang, "Masih hidup, kok."
Fara menyahut, "Syukurlah. Bapak Ganteng kan tinggi besar, pasti bisa bantu Ibu banyak kerjaan. Jemur-jemur ramuan herbal juga boleh."
Arya Santoso: "..."
Apa-apaan ini?
Kenapa telingaku berisik sekali?
Seperti suara burung gereja.
Alis Arya yang tegas mengerut saat ia perlahan membuka matanya.
"Wah! Bapak Ganteng sudah bangun!"
Hal pertama yang dilihat Arya adalah seorang gadis kecil menggemaskan bak boneka porselen. Ia pun tertegun.
"Kak Sulung, Bapaknya sudah bangun!" seru Si Tengah.
Si Sulung mendekat, menatap Arya, dan berkata dengan gaya orang dewasa, "Bapak sudah bangun, ya? Kata Ibu, kalau sudah bangun berarti sudah nggak apa-apa."
Satu, dua, tiga...
Tiga anak yang identik ini muncul satu per satu seperti jamur kecil. Arya membuka mulut, suaranya terdengar sangat serak. "Ini di mana?"
Jangan bilang dia ada di rumah jamur.
"Ini di pinggiran Jakarta, di rumah Nenek kami," jawab Si Sulung.
Arya bertanya lagi, "Orang dewasa di rumah ini yang menolongku?"
"Ibu kami yang menolong Bapak," Fara menyahut sambil tersenyum lebar. "Bapak Ganteng, kok bisa jatuh dari tempat setinggi itu?"
Mata Arya yang kelam seketika dipenuhi hawa dingin.
Saat itu, mobilnya telah disabotase. Ketika melaju di jalan tol pegunungan, mobilnya kehilangan kendali dan terjun ke jurang.
Beruntung, ia berhasil melompat keluar dari mobil sesaat sebelum jatuh. Ia terguling beberapa kali sebelum tubuhnya terhenti oleh sebatang pohon yang menahan laju jatuhnya. Setelah terguling beberapa kali lagi, ia kehilangan kesadaran.
Jadi, ibu dari anak-anak ini yang menolongku?
"Di mana Ibu kalian?" tanya Arya lagi.
"Lagi pergi belanja."
"Nenek kalian?"
"Sudah di surga. Di sini cuma ada kami bertiga dan Ibu."
Arya bertanya asal, "Ayah kalian?"
Ketiga anak itu serempak terdiam.
Si Tengah cemberut. "Pak, pertanyaan Bapak banyak banget, deh."
Arya Santoso: "..."
Baiklah. Untuk pertama kalinya dalam hidup, ia kena semprot oleh seorang anak kecil.
"Bapak Ganteng, minum dulu," Fara menyodorkan segelas air. Sambil mengerjapkan matanya, ia bertanya, "Bapak Ganteng namanya siapa? Asalnya dari mana?"
Melihat gadis kecil yang imut dan lembut itu, hati Arya luluh. Ia mengambil gelas itu dan meneguk airnya beberapa kali.
Karena tak kunjung mendapat jawaban, Si Tengah mengerutkan kening. "Jangan-jangan Bapak ini amnesia?"
Fara tertegun. "Amnesia?"
Si Tengah mengangguk. "Nggak lihat di sinetron? Kalau habis kecelakaan, kebanyakan pada amnesia. Bapak ini mungkin juga begitu, kalau nggak, kenapa nggak jawab?"
Arya hanya bisa tersenyum geli. Cerdas sekali tiga anak ini.
Tiba-tiba, bel di pintu depan berbunyi.
Mata Fara berbinar. "Pasti Ibu pulang!"
Kemudian, ketiga anak itu berlari serempak ke arah pintu.
"Ibu!"
Fara baru saja akan membuka pintu ketika Si Sulung menahannya.
Mereka bertiga berhenti dan mengintip dari celah pintu. Di luar, berdiri seorang wanita asing.
"Ibu siapa?" tanya mereka serempak.
"Halo, anak-anak manis. Orang tuanya ada? Saya petugas kebersihan yang dipesan untuk rumah ini..." kata Bu Ning, si petugas kebersihan, yang terkejut melihat tiga anak kembar identik.
"Oh, kami nggak tahu. Ibu datang lagi nanti saja, ya!"
Setelah berkata begitu, anak-anak itu kembali masuk bersama-sama.
Bu Ning: "..."
Lho, ada apa ini?
Fara menoleh ke belakang beberapa kali. "Kak Sulung, apa nggak apa-apa kita nggak bukain pintu buat Ibu tadi?"
"Pokoknya, selain Ibu dan Tante, kita nggak boleh bukain pintu buat siapa pun," tegas Si Sulung.
Citra bergegas pulang. Petugas kebersihan sudah meneleponnya beberapa kali. Ketika ia tiba, petugas itu sudah pergi dengan wajah kesal.
Mau bagaimana lagi, Citra terpaksa harus mencari orang lain.
Begitu Citra masuk ke dalam rumah, Fara langsung berlari menghampirinya.
"Ibu, Bapak Ganteng sudah bangun!"
"Oh, ya? Kapan bangunnya? Dia bilang apa saja?" tanya Citra sambil meletakkan barang bawaannya dan berjalan menuju kamar tamu.
Si Sulung dan Si Tengah sudah berada di sana. Fara melaporkan situasinya sambil sibuk membuka bungkus makanan ringan, membuat kedua kakaknya ikut tertarik.
Citra berjalan ke sisi ranjang, sedikit membungkuk, dan meletakkan telapak tangannya yang lembut di dahi Arya untuk memeriksa suhunya.
Kedekatan yang tiba-tiba itu membuat Arya menahan napas.
Ia tidak menyangka wanita yang menolongnya begitu muda dan cantik.
"Kamu yang menolong saya?"
"Iya. Anda masih sedikit demam. Nanti saya buatkan ramuan herbal untuk diminum."
Jari-jari Citra beralih ke pergelangan tangan Arya untuk memeriksa denyut nadinya. Melihat pria itu hendak bergerak, ia berkata dengan tegas, "Jangan banyak bergerak. Kaki kanan dan lengan kiri Anda patah, untuk sementara tidak akan bisa bangun."
"Apa?!"
Arya terkejut. Baru ia menyadari lengan dan kakinya mati rasa. Selamat dari maut, tetapi malah menjadi cacat?
Menatap wajah Arya yang dingin dan tegang, Citra melembutkan suaranya. "Tenang saja, saya bisa menyembuhkan Anda."
