Bab [6] Si Tujuh, telingamu sangat merah
Sambil menatap dua orang yang baru saja masuk ke mobil dengan panik, Citra Johari berkacak pinggang dan mengumpat, "Manusia rendahan memang harus dihadapi dengan anjing! Lain kali berani datang bikin onar lagi, habis kalian digigit sampai mati!"
Sari Johari, yang kesakitan dan marah, menangis tersedu-sedu. Air matanya mengalir deras seperti untaian mutiara yang putus. "Kak Surya, lihat kelakuannya! Dia menindasku seperti ini! Kamu harus membalaskan dendamku!"
Surya Santoso membentak dengan marah, "Citra Johari, jangan sombong kamu! Melukai orang itu melanggar hukum, aku tidak akan melepaskanmu!"
Citra Johari sama sekali tidak takut. "Pergi sana! Berani ngoceh lagi, anjing-anjing ini aku lempar ke dalam mobilmu. Lihat apa kamu masih bisa sok jagoan!"
Mendengar ancaman itu, orang-orang di dalam mobil tidak berani macam-macam lagi. Keduanya sudah terluka dan harus segera ditangani.
"Citra Johari, awas kamu ya! Urusan kita belum selesai!"
"Memang belum," sahut Citra.
Melihat Citra Johari hendak memanggil anjing-anjingnya lagi, Surya Santoso tidak berani berlama-lama. Ia langsung menginjak gas dan mobilnya melesat pergi.
Arya Santoso sedikit mencondongkan tubuhnya keluar. Tidak disangka hari ini ia bisa menyaksikan drama yang begitu seru.
"Dia itu suamimu?"
Citra Johari menjawab dengan ketus, "Lebih cocok disebut bajingan! Orang macam dia itu, hidup di dunia ini cuma buang-buang nasi saja."
Benar-benar galak, batin Arya. Dengan gayanya tadi, seolah-olah ia punya pasukan di belakangnya.
"Kamu kelihatannya benci sekali padanya. Lalu, anak-anak ini?"
"Anak-anak tidak ada hubungannya dengan dia. Kalau dibilang benci sih tidak juga, tapi jijik, itu sudah pasti."
Melihat tatapan bingung di mata Arya, Citra Johari mengingatkan dengan dingin, "Kita ini tidak kenal dekat. Jangan suka ikut campur urusan rumah tangga orang. Cepat sembuh dan pergi dari sini. Tentu saja, semua biaya perawatanmu selama ini sudah aku catat. Jangan coba-coba tidak bayar."
Arya Santoso membuktikannya sendiri, wanita ini memang pelitnya bukan main.
Ketiga anak kecil itu bertepuk tangan dengan gembira. "Ibu hebat! Orang jahat dihajar sampai lari tunggang langgang!"
Namun, Citra Johari tidak merasa senang. Kemunculan mereka berdua menandakan hari-hari tenangnya akan segera berakhir. Jika hari ini mereka bisa menemukannya, ke depannya mereka pasti tidak akan menyerah begitu saja.
Dulu, saat masih sendirian, menghadapi mereka lebih mudah. Sekarang, ia punya tiga anak dan satu pasien amnesia yang terluka. Melawan secara langsung jelas bukan pilihan. Ia harus mencari cara untuk membalas.
"Kalian harus ingat, ya. Kalau ada orang asing yang datang, jangan pernah buka pintu."
Si sulung menepuk dadanya dengan bangga, "Tenang saja, Bu. Waktu itu petugas kebersihan datang, kami juga tidak izinkan masuk, kan?"
Citra Johari terdiam. "..."
Yah, sepertinya nasihatnya tidak bisa digeneralisir seperti itu. Tapi, lebih baik berhati-hati.
Si tengah angkat bicara, "Ibu, kalau ada bahaya, jangan sendirian. Aku dan kakak laki-laki, kami bisa melindungi Ibu."
Fara, sambil mengelus Tiga, anjing mereka, berkata dengan manis, "Aku juga bisa bantu Ibu. Aku akan kasih Tiga makan yang banyak, supaya dia cepat besar dan bisa melindungi Ibu."
Citra Johari merentangkan tangannya dan memeluk ketiga buah hatinya. Bertahun-tahun ini, seberat apa pun kesulitan yang dihadapi, mereka berempat selalu bisa melewatinya bersama. Kali ini pun pasti akan sama.
Arya Santoso benar-benar penasaran. Ia pernah dengar kalau Surya Santoso dan istrinya sudah berpacaran bertahun-tahun dan hubungan mereka sangat baik. Lalu, bagaimana bisa Citra Johari mengandung anak orang lain, dan kenapa ia tiba-tiba menghilang waktu itu?
Lalu, siapa ayah dari si bungsu?
Dari raut wajah Citra tadi, jelas sekali ia menyembunyikan sesuatu.
Malam di pinggiran kota selalu datang lebih cepat. Insiden hari ini tidak mengganggu ibu dan anak-anak itu. Citra Johari sudah membawa buah hatinya terlelap lebih awal.
Di tengah malam yang gelap gulita, sesosok bayangan hitam baru saja mendekati rumah ketika gonggongan anjing yang keras membuatnya lari ketakutan. Suara itu sekaligus membangunkan Arya Santoso di dalam rumah.
Dengan susah payah, Arya memindahkan tubuhnya ke kursi roda. Ia melirik ke kamar sebelah, memastikan tidak ada pergerakan, barulah ia diam-diam keluar.
Setelah beberapa hari tinggal bersama mereka, anjing-anjing itu sudah mengenali baunya sehingga tidak menggonggong.
Arya melihat seberkas cahaya senter berkedip di bawah pohon di depan. Ia pun memutar kursi rodanya ke arah sana.
Willy Hartanto muncul dengan wajah penuh rasa bersalah.
"Pak Arya, maafkan saya. Saya tidak becus."
Rencananya, Willy yang akan masuk untuk menemui Arya. Ia tidak menyangka di rumah itu ada beberapa anjing besar. Jika ia nekat memanjat masuk, besok mungkin ia hanya akan tinggal nama.
Arya Santoso bisa memahami tindakan Citra Johari. Tinggal sendirian dengan anak-anak di daerah pinggiran kota, ia tentu butuh pengawal untuk melindunginya.
Dan anjing jauh lebih setia daripada manusia, tidak akan pernah mengkhianatinya.
"Pak Arya, syukurlah Bapak baik-baik saja. Kami semua mengira Bapak..."
Melihat mata Willy yang memerah, Arya berkata, "Tenang, aku tidak akan apa-apa. Bagaimana keadaan di rumah?"
"Kakek langsung pingsan begitu mendengar kabar buruk tentang Bapak. Meskipun sudah siuman, kondisinya masih belum stabil, pikirannya sering kosong. Tuan Besar dan saudara-saudara yang lain bergantian menjaganya."
Dugaannya benar. Kakeknya tidak sanggup menahan guncangan itu.
"Kamu kembali, carilah cara untuk mendekati Kakek. Beri tahu beliau aku masih hidup, suruh beliau jangan khawatir."
Willy Hartanto mengangguk. "Bapak tidak ikut pulang dengan saya? Luka Bapak kelihatannya cukup parah, lebih baik dirawat di rumah sakit yang layak."
Arya Santoso menggeleng. "Aku tidak bisa kembali sekarang. Pada hari kecelakaan, rute perjalananku diubah oleh seseorang, dan mobilku juga sudah disabotase. Itulah yang menyebabkan kecelakaan. Ada yang ingin aku mati. Dengan tidak kembali, aku bisa melihat apa langkah selanjutnya dari dalang di balik semua ini."
Arya Santoso tahu insiden ini sama sekali tidak sederhana. Di usianya yang masih muda, ia sudah menjadi pemimpin keluarga Santoso, membuatnya menjadi duri dalam daging bagi banyak orang.
Siapa yang paling diuntungkan dari hilangnya dirinya, dialah pelakunya.
Willy berkata dengan cemas, "Lalu bagaimana dengan luka Bapak? Perlukah saya diam-diam menghubungi dokter pribadi Bapak untuk datang ke sini?"
Bayangan wajah galak wanita itu melintas di benak Arya. Ia tersenyum tipis. "Orang yang menolongku ini seorang dokter. Dia saja bisa membuatku duduk, pasti bisa membuatku berdiri lagi."
Ini pertama kalinya Willy melihat Pak Arya memberikan penilaian setinggi itu pada seseorang. Baru saja ia hendak menjawab, ia melihat lampu di dalam rumah menyala.
"Tujuh? Kamu di luar, ya?"
Begitu suara Citra Johari terdengar, Willy dengan sigap bersembunyi kembali di balik pohon. Arya memberinya isyarat mata, menyuruhnya untuk kembali dulu dan menunggu perintah selanjutnya.
"Tujuh, sedang apa kamu di luar?"
Sejak mengetahui asal-usul namanya, Arya merasa sangat canggung setiap kali mendengarnya. Ia harus mencari cara untuk mengganti nama itu.
Melihat Citra sudah berjalan keluar, ia terpaksa mencari alasan. "Tadi aku dengar anjing menggonggong, khawatir pasangan tadi siang datang lagi membuat onar, jadi aku keluar untuk memeriksa."
Kata-kata itu membuat hati Citra Johari menghangat. "Tidak kusangka kamu ada gunanya juga. Tapi tenang saja, anjing-anjing ini sudah terlatih. Kalau orang jahat berani datang, dijamin tulang-belulangnya pun tidak akan tersisa."
Willy Hartanto yang belum pergi jauh langsung berkeringat dingin. Kalau saja tadi ia nekat masuk, bukankah ia akan...
Wanita yang mengerikan, batinnya. Semoga Pak Arya baik-baik saja.
"Sini, aku dorong kamu masuk. Kamu sedang terluka, tidak boleh bergerak sembarangan. Lain kali kalau ada apa-apa, panggil saja aku."
Tangan putih Citra Johari mendorong kursi roda. Hembusan angin sepoi-sepoi membawa aroma manis yang lembut dari tubuhnya, merangsang indra penciuman Arya.
Arya merasa aroma ini seperti pernah ia cium di suatu tempat, membuatnya gelisah.
Citra Johari mengantar Arya kembali ke kamarnya. Cahaya lampu yang menyinari tubuhnya membuat penampilannya terlihat semakin lembut. Hal itu tanpa sadar membuatnya teringat pada malam empat tahun lalu, pada wanita lembut yang berada di bawahnya...
Bahkan hanya dengan mengingatnya, tubuhnya sudah terasa panas. Malam itu terlalu indah.
"Tujuh, telingamu merah sekali. Apa kamu merasa tidak enak badan?"
Citra Johari mengira Arya masuk angin karena keluar tadi.
Arya Santoso tersenyum. "Pria dan wanita berduaan, dengan wanita cantik di hadapanku. Ini adalah reaksi yang wajar bagi seorang pria normal."
