Bab [7] Timbul Niat Buruk
Citra Johari khawatir pria itu kesakitan, ternyata dia malah berpikiran mesum.
Sambil menaruh tangannya di bahu Arya Santoso, dia bertanya dengan nada menggoda, "Bagaimana kalau kubantu tuntaskan hasratmu?"
Wajah Arya Santoso langsung berseri-seri, sepertinya pesonanya masih belum luntur.
"Wah, jadi merepotkan, Bu Johari. Kalau begitu, saya serahkan padamu."
Citra Johari santai mengeluarkan sebuah jarum perak, lalu tersenyum licik. "Tidak repot, kok. Cukup satu tusukan saja, kujamin kamu tidak akan bisa 'bangun' lagi selamanya. Jadi, kamu tidak akan pernah berbuat macam-macam lagi."
Berani-beraninya bersikap kurang ajar di depannya, Citra Johari tidak akan segan-segan membuatnya mandul.
Seketika paham maksudnya, Arya Santoso buru-buru menutupi area pribadinya. Wanita galak yang punya keahlian medis ini memang bukan lawan yang sepele.
"Aku cuma bercanda, kamu tidak menganggapnya serius, kan?"
"Yakin cuma bercanda? Kalau memang kamu sudah tidak tahan, aku bisa bantu meringankan penderitaanmu, lho."
Wanita ini tersenyum manis, tapi kata-katanya sama sekali tidak terdengar seperti lelucon.
"Tidak perlu! Malam sudah larut, tidak baik kita berduaan begini. Sebaiknya kamu cepat kembali ke kamarmu."
"Baguslah kalau kamu sadar diri."
Citra Johari memutar bola matanya dengan kesal. Namun, suara lembutnya yang menggoda itu terus terngiang di benak Arya Santoso setelah wanita itu pergi, membuatnya terjaga hingga larut malam.
Fajar mulai menyingsing, di luar jendela terdengar kicauan burung yang ramai.
Arya Santoso membuka matanya dan berusaha bangkit dengan susah payah. Dia mencoba menggerakkan kedua kakinya, tetapi sama sekali tidak ada rasa.
Bukankah wanita itu bilang bisa menyembuhkannya? Apa dia hanya berbohong?
Dia mencoba menepuk-nepuk kakinya, tetapi tidak merasakan sakit sedikit pun. Saking marahnya, dia meraih gelas di meja nakas dan membantingnya ke lantai.
Prang!
Pecahan kaca berserakan di lantai, suara itu mengagetkan orang di luar.
Citra Johari buru-buru membuka pintu. Dilihatnya wajah Arya yang merah padam karena marah, lalu pandangannya beralih ke lantai.
"Memecahkan satu gelas harus ganti rugi. Selain itu, saya peringatkan dengan tegas, tindakanmu ini mengganggu ketenangan dan bisa membuat anak-anak saya takut. Kalau sampai terjadi lagi, jangan salahkan saya kalau kamu kuusir."
Wanita ini benar-benar pelit dan galak, sekarang malah berani mengancam akan mengusirnya.
"Kamu bilang bisa menyembuhkanku, tapi kenapa kakiku masih tidak bisa bergerak?"
"Abang, saya ini manusia, bukan dewa yang bisa membuatmu langsung sembuh seketika. Patah tulang saja butuh waktu berbulan-bulan untuk pulih. Kakimu ini remuk, lho. Aku sudah berhasil membuatmu bisa duduk dan tanganmu bisa bergerak, itu saja sudah keajaiban medis. Kalau kamu masih meragukanku, akan kuantar kamu pergi sekarang juga."
Citra Johari melipat tangan di dada. Dia sudah tidak sudi lagi melayani pria yang maunya dilayani seperti raja ini.
Walaupun kata-katanya kasar, ada benarnya juga. Arya Santoso hanya terlalu tidak sabaran.
"Sebagai dokter, tidak bisakah sikapmu lebih baik sedikit?"
"Oh, kamu mau dibujuk-bujuk sama dokter? Gampang. Sana pergi ke ruang VIP rumah sakit elite, di sana ada perawat-perawat cantik yang bisa menemanimu mengobrol. Kalau tidak mampu, lebih baik diam dan nurut saja di sini."
Arya Santoso rasanya ingin muntah darah karena kesal, sementara Citra Johari yang melihat ekspresi tertekannya itu tidak bisa menahan tawa.
"Sudah, sudah. Kondisimu ini butuh perawatan bertahap. Aku, Citra Johari, selalu menepati janji. Kalau aku bilang bisa menyembuhkanmu, pasti akan kusembuhkan. Sekarang kamu ini pasien, jadi tenangkan pikiranmu dan ikuti saja perawatannya."
Baiklah, percuma juga berdebat dengannya. Untuk saat ini, lebih baik dia bersabar.
Citra Johari menyingkap selimut untuk memulai pemeriksaan. Namun, matanya langsung tertuju pada tonjolan besar di balik celananya. Wajah cantiknya seketika memerah, dan dia cepat-cepat membuang muka.
Di mata dokter, seharusnya tidak ada perbedaan. Dulu dia sudah sering melihat hal seperti ini, kenapa sekarang jadi begini?
Dia menarik napas dalam-dalam, lalu kembali menoleh dan berhadapan langsung dengan tatapan menggoda Arya Santoso.
"Dokter Johari pasti paham, kan? Ereksi di pagi hari itu normal bagi pria. Ini bukan berarti aku sedang menggodamu."
Melihat Citra tidak bersuara, Arya kembali berbicara dengan suaranya yang berat dan memesona, "Tolong ambilkan kursi rodaku, ya. Kalau bisa, sekalian dorong aku ke kamar mandi untuk buang air kecil. Maklum, aku pasien, jadi banyak keterbatasan."
Meskipun wajahnya menunjukkan rasa kesal, tangan Citra Johari tetap bergerak.
Dia mendorong kursi roda ke dekat ranjang, dengan hati-hati memapah Arya untuk duduk, lalu mendorongnya ke kamar mandi. Setelah selesai, dia mendorongnya kembali ke kamar.
"Biaya jasa perawatku mahal, lho."
"Tenang saja, sebutkan saja harganya."
Wanita ini tidak pernah berhenti bicara soal uang. Nanti tinggal berikan saja apa yang dia mau.
Kalimat itu adalah musik di telinga Citra Johari. Setelah merapikan kamar Arya sekadarnya, dia pun keluar untuk menyiapkan sarapan.
Baru saja dia melangkah pergi, sesosok mungil yang menggemaskan muncul dari balik pintu.
"Bapak ganteng, selamat pagi."
Memandang wajah imut itu, hati Arya Santoso langsung luluh. Entah kenapa, dia merasa ada kedekatan yang aneh dengan ketiga anak ini.
"Pagi juga, Fara."
"Bapak ganteng mau minum susu? Kata Ibu, minum susu bisa bikin tinggi."
Dengan tinggi badan lebih dari 180 cm, Arya tentu tidak perlu bertambah tinggi lagi. Namun, melihat perhatian Fara, dia mengangguk.
Fara membawakannya sebotol susu hangat, bahkan dengan sengaja memanjat ke atas tempat tidur untuk menyuapinya.
Saat Citra Johari masuk, dia melihat putri kecilnya yang biasanya pendiam itu kini tersenyum lebar sambil memegang sedotan untuk menyuapi Arya.
"Fara, turun sekarang! Ibu sudah bilang apa? Jauhi pria asing, hati-hati nanti kamu ditipu."
Fara menggeleng sambil tertawa riang. "Bapak ganteng orang baik, kok. Dia tidak akan menipuku."
Citra Johari menepuk dahinya. Sepertinya semua didikan yang dia berikan selama ini sia-sia. Anaknya ini sepertinya sudah tidak bisa dipertahankan lagi.
"Kamu kasih susunya ke dia, lalu Ibu minum apa?"
"Ibu sama Bapak ganteng minum setengah-setengah."
Citra Johari tentu saja tidak mau meminum sisa orang lain. Dia melirik Arya dengan tatapan penuh peringatan, lalu menggendong putrinya keluar sambil kembali memberikan nasihat panjang lebar.
Setelah sarapan, Citra Johari mulai menyiapkan ramuan herbal untuk hari ini. Baru saja dia selesai merebus jamu dan hendak mengantarkannya untuk Arya Santoso, telepon di atas meja berdering.
Melihat nomor yang sangat dikenalnya, dia mengangkat telepon dengan perasaan campur aduk.
"Nenek~"
"Citra, ini benar-benar kamu? Kenapa kamu menghilang tanpa jejak selama ini? Tidak pernah menghubungi keluarga sama sekali, apa kamu sudah melupakan Nenek?"
Meskipun nada bicara Nenek terdengar seperti sedang memarahi, kebahagiaan dalam suaranya tidak bisa disembunyikan.
"Maafkan Citra, Nek. Cucu Nenek ini memang tidak berbakti. Mana mungkin Citra melupakan Nenek? Citra selalu kangen sama Nenek."
Citra Johari membenci ayahnya yang pilih kasih dan ibu tirinya yang munafik. Hanya neneknya yang tulus menyayanginya. Sebenarnya dia berencana mengunjungi neneknya setelah semuanya stabil, tetapi rencananya terus tertunda.
"Kalau kangen, pulanglah. Kalau ada masalah, ceritakan pada Nenek. Ada Nenek di sini, mereka tidak akan bisa mengganggumu lagi."
"Baik, Nek. Setelah urusan di sini selesai, Citra akan langsung menemui Nenek. Nenek jaga kesehatan, ya."
Setelah bertemu Sari Johari kemarin, Citra sudah menduga bahwa cepat atau lambat keluarganya akan menghubunginya. Mereka tahu orang tuanya tidak akan bisa membujuknya, jadi satu-satunya cara adalah meminta neneknya yang punya hubungan baik dengannya untuk turun tangan.
Tujuan mereka memancingnya keluar sudah jelas, yaitu agar dia menceraikan Surya Santoso, sehingga Sari Johari bisa menggantikan posisinya.
Citra Johari meletakkan teleponnya, lalu menoleh dan mendapati Arya Santoso sedang mendengarkan dengan saksama.
"Hei, kamu punya sopan santun tidak? Kenapa menguping pembicaraan orang?"
Arya Santoso memasang wajah tanpa dosa, lalu memutar kursi rodanya mendekat. "Apa kamu pernah lihat orang menguping terang-terangan begini? Kamu sendiri yang bilang ini waktunya minum obat. Karena kamu tidak kunjung datang, terpaksa aku yang ke sini. Kebetulan saja kamu sedang menelepon."
Citra Johari baru teringat kalau memang benar begitu. Dia mengambil mangkuk jamu di atas meja dan menyodorkannya.
"Karena kamu sudah di sini, minum saja sendiri."
Aroma tidak sedap langsung menusuk hidungnya. Cairan hitam pekat itu membuat bulu kuduk Arya Santoso meremang.
"Jamu ini pahit sekali, tidak bisakah diganti obat Barat saja?"
"Tidak bisa. Cepat minum, nanti kalau dingin khasiatnya berkurang." Melihat Arya mengerutkan kening dengan wajah penuh penolakan, Citra Johari kembali menyindir, "Badanmu besar begitu, masa takut minum jamu? Kalah sama ketiga anakku."
